Pengertian Reward dan Punishment

Pengertian Reward dan Punishment 
Reward dan punishment sebagai metode pembelajaran akan sangat ideal dan strategis bila digunakan sesuai dengan prinsip-prinsip belajar untuk merangsang belajar dalam kerangka mengembangkan potensi anak didik. Pendidik (guru) hendaknya menguasai metode ini secara benar agar tidak berimplikasi buruk, misalnya seorang pendidik menggunakan kekerasan dalam menegakkan kedisiplinan, sehingga menimbulkan kesalahpahaman yang menjadikan anak trauma dan depresi. 

Dalam kamus bahasa Inggris, reward diartikan sebagai ganjaran atau penghargaan (Echols,1992:485). Pengertian reward secara umum biasa diartikan sebagai hadiah yang diberikan atau didapatkan dengan mudah, misalnya kuis. Pengertian pemberian reward dalam pendidikan atau metode pembelajaran dimaksudkan sebagai sebuah penghargaan yang didapatkan melalui usaha keras anak melalui belajar, baik melaui kelompok maupun individu yang menghasilkan prestasi belajar. Penghargaan atas prestasi anak biasa diberikan dalam bentuk materi dan non materi yang masing-masing sebagai bentuk motivasi positif. Teori awal istilah reward dan punishment merupakan satu rangkaian yang dihubungkan dengan pembahasan reinforcement yang diperkenalkan oleh Thorndike dalam observasinya tentang trial-and eror sebagai landasan utama reinforcement (dorongan, dukungan). Dengan adanya reinforcement tingkah laku atau perbuatan individu semakin menguat, sebaliknya dengan absennya reinforcement tingkah laku tersebut semakin melemah (Sumanto, 1990:117). Dalam dunia pendidikan, reward digunakan sebagai bentuk motivasi atau sebuah penghargaan untuk hasil atau prestasi yang baik, dapat berupa kata-kata pujian, pandangan senyuman, pemberian tepukan tangan serta sesuatu yang menyenangkan anak didik, misalnya pemberian beasiswa bagi yang telah mendapat nilai bagus (Hurlock,1978:86). Penerapan reward di bangku pendidikan dasar adalah bentuk motivasi yang berorientasi pada keberhasilan belajar atau prestasi anak. 

Suharsimi Arikunto menjelaskan bahwa penghargaan merupakan sesuatu yang diberikan kepada seseorang karena sudah mendapatkan prestasi dengan yang dikehendaki, yakni mengikuti peraturan sekolah yang sudah ditentukan (Arikunto,1990:182). Penghargaan tidak selalu bisa dijadikan sebagai motivasi, karena penghargaan untuk suatu pekerjaan tertentu, mungkin tidak akan menarik bagi orang yang tidak senang dengan pekerjaan tersebut (Sardiman,1990:91). 

Dalam dunia pendidikan, reward diarahkan pada sebuah penghargaan terhadap anak yang dapat meraih prestasi sehingga reward tersebut bisa memberikan motivasi untuk lebih baik lagi. 

Menurut Suharsimi Arikunto ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh pendidik (guru) dalam memberikan penghargaan kepada anak, yaitu :
1. Penghargaan hendaknya disesuaikan dengan keadaan dan sifat dari aspek yang menunjukkan keistimewaan prestasi.
2. Penghargaan harus diberikan langsung sesudah perilaku yang dikehendaki dilaksanakan.
3. Penghargaan harus diberikan sesuai dengan kondisi orang yang menerimanya.
4. Penghargaan yang harus diterima anak hendaknya diberikan.
5. Penghargaan harus benar-benar berhubungan dengan prestasi yang dicapai oleh anak.
6. Penghargaan harus diganti (bervariasi).
7. Penghargaan hendaknya mudah dicapai.
8. Penghargaan harus bersifat pribadi.
9. Penghargaan sosial harus segera diberikan.
10.Jangan memberikan penghargaan sebelum siswa berbuat.
11. Pada waktu menyerahkan penghargaan hendaknya disertai penjelasan rinci tentang alasan dan sebab mengapa yang bersangkutan menerima penghargaan tersebut (Arikunto, 1990:163).

Pemberian penghargaan tidak selamanya bersifat baik, namun tidak menutup kemungkinan bahwa pemberian penghargaan merupakan satu hal yang bernilai positif. Armai Arief berpendapat pada implikasi pemberian penghargaan yang bersifat negatif apabila pelaksanaan pemberian penghargaan dipakai sebagai berikut : 
Pertama, menganggap kemampuannya lebih tinggi dari teman-temannya atau temannya dianggap lebih rendah; 
Kedua, dengan pemberian penghargaan membutuhkan alat tertentu dan biaya (Arief, 2002:128). 

Selain itu diungkapkan juga bahwa pemberian penghargaan akan bersifat positif apabila pelaksanaan penghargaan dipakai sebagai berikut: 
Pertama, anak akan berusaha mempertinggi prestasinya; 
Kedua, memberikan pengaruh yang cukup besar terhadap jiwa anak yang dididik untuk melakukan perbuatan yang positif dan bersifat progresif; Ketiga, menjadi pendorong bagi anak lainnya (teman) untuk mengikuti anak yang memperoleh penghargaan dari gurunya, baik dalam tingkah laku, sopan santun, semangat dan motivasinya dalam berbuat yang lebih baik (Arikunto, 1990:129).

Pemberian reward pada anak akan menimbulkan perbuatan baik. Oleh karena itu, reward yang diberikan hendaknya memiliki tiga peranan penting untuk mendidik anak dalam berperilaku: 
1. Reward mempunyai nilai mendidik. 
2. Reward berfungsi sebagai motivasi untuk mengulangi berbuat baik. 
3. Reward berfungsi untuk memperkuat perilaku yang lebih baik. 

Dari ketiga peran di atas, reward diharapkan mampu memberikan reinforcement pada anak untuk lebih dihargai atas perilaku atau prestasi yang telah diraihnya. Islam mengajarkan bahwa barang siapa yang beramal baik, maka Allah swt akan membalas dengan setimpal. Tetapi bagi yang tidak melakukan perintah-Nya akan diberikan peringatan dan siksaan. Dalam mencapai tujuan pendidikan, setiap lembaga pendidikan memiliki peraturan-peraturan untuk ditaati bersama, baik bagi pendidik maupun anak didik sehingga tercipta kedisiplinan. Pendidik (guru) dan bimbingan konseling (BK) harus tegas terhadap anak yang tidak taat pada peraturan tersebut dengan diberikan sebuah punishment.

Menurut Ngalim Purwanto, punishment adalah penderitaan yang diberikan atau ditimbulkan dengan sengaja oleh pendidik (guru) sesudah terjadi suatu pelanggaran, kejahatan atau kesalahan (Purwanto, 1955:186). Hukuman juga dapat diartikan pemberian sesuatu yang tidak menyenangkan, karena seseorang tidak melakukan apa yang diharapkan. Pemberian hukuman akan membuat seseorang menjadi kapok dan tidak akan mengulangi yang serupa lagi. Punishment merupakan siksaan atas perilaku yang telah diperbuat (Echols,1992:456). 

Punishment ersebut dapat berupa ancaman, larangan, pengabaian dan pengisolasian, hukuman badan sebagai bentuk hukuman yang diberikan pada seseorang karena kesalahan, pelanggaran hukum dan peraturan dalam perbaikan dan pembinaan umat manusia. Dalam Islam, apabila seseorang mendapat hukuman, termasuk ta’zir, maka hukuman berkisar antara peringatan, kecaman, pukulan, kurungan dan rampasan (Miller, 2002:170). Dalam rekayasa paedogogik, reward dan punishment merupakan sebuah metode belajar yang dimaksudkan sebagai tindakan disiplin atau motivasi pada anak. Reward dan punishment ini dihubungkan dengan reinforcement yang diperkenalkan oleh Thorndike (1898-1901)

Dalam jaringan rekayasa paedagogis, reward dan punishment merupakan upaya membuat anak untuk mau dan dapat belajar atas dorongan sendiri dalam mengembangkan bakat, pribadi dan potensi secara optimal. Sehingga pemberian reward (penghargaan) dan punishment (hukuman) telah dijadikan sebagai strategi metode pendidikan dalam proses pembelajaran yang diharapkan anak didik berkembang sesuai dengan fitrahnya. 

Al-Qur’an menjelaskan bahwa penghargaan atau ganjaran menunjukkan balasan terhadap apa yang diperbuat oleh seseorang dalam kehidupan ini atau di akherat kelak karena amal perbuatan yang baik. Dalam al Qur’an disebutkan : Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, maka (dosanya) untuk dirinya sendiri; dan sekali-kali tidaklah Rabb-mu menganiaya hambahamba-Nya.” (Q.S. Fushilat : 46)

Dari ayat di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa pemberian reward merupakan suatu bentuk penghargaan atas prestasi yang telah diraih seseorang atau bentuk motivasi terhadap apa yang telah diperbuatnya. Dalam proses belajar mengajar, reward diberikan pendidik (guru) kepada anak sebagai pendorong, penyemangat dan motivasi sehingga akan membentuk rasa percaya diri pada mereka.

Pendidik (guru) yang baik adalah mereka yang mampu menguasai kelas hingga terciptanya suasana pembelajaran yang menyenangkan. Dalam mewujudkannya, pendidik (guru) haruslah menjadi orang yang berwibawa, kharismatik, menguasai materi pelajaran dan mampu memahami psikologis anak. Ia harus disiplin, tak membuat kesalahan, mengetahui dan mampu menjawab atas setiap masalah yang dialami anak didik. Peran pendidik (guru) sangat berpengaruh terhadap perkembangan anak, baik yang berkaitan dengan mata pelajaran maupun kegiatan-kegiatan yang menunjang prestasi. Proses pembelajaran akan berjalan baik bila ditopang dengan beberapa hal, termasuk di dalamnya tata tertib siswa di sekolah sebagai tatanan, etika, dan norma yang harus dijunjung tinggi untuk mensukseskan tujuan pembelajaran diantaranya adalah penerapan punishment. 

Menurut Abu Ahmadi dan Nur Uhbiyati, punishment atau hukuman merupakan suatu perbuatan, di mana kita secara sadar dan sengaja menjatuhkan nestapa kepada orang lain, baik dari segi kejasmanian maupun dari segi kerohanian karena orang lain itu mempunyai kelemahan bila dibandingkan dengan diri kita. Oleh karena itu, kita mempunyai tanggung jawab untuk membimbing dan melindunginya (Ahmadi, 2001:150). Sedangkan menurut Ngalim Purwanto, hukuman adalah penderitaan yang diberikan atau ditimbulkan dengan sengaja oleh seseorang pendidik sesudah terjadi suatu pelanggaran, kejahatan atau kesalahan (Purwanto, 1955:186). 

Kamus besar bahasa Indonesia menjelaskan ada tiga macam bentuk hukuman. 
1. Siksa yang dikenakan kepada orang-orang yang melanggar undang-undang. 
2. Keputusan yang dijatuhkan oleh hakim. 
3. Hasil atau akibat menghukum (Poerwadarminta,1989:333). 

Secara harfiah, hukuman dapat diartikan sebagai pemberian sesuatu yang tidak menyenangkan, karena seseorang tidak melakukan apa yang diharapkan. Dalam proses pembelajaran, punishment harus menjadi reinforcement (penguatan) bagi anak agar tidak mengulangi kembali atas kesalahan yang telah diperbuatnya. Dorongan negatif akan memberikan efek yang baik untuk tidak mengulang kesalahan-kesalahan yang telah diperbuat anak.

Pemberian hukuman akan membuat anak menjadi kapok (jera), artinya sebuah upaya pendidik (guru) dalam memberikan sanksi agar anak tidak akan melakukan kesalahan yang serupa lagi. Sekalipun setelah diberi ulasan agar tidak melakukan perbuatan-perbuatan tertentu, sebagian anak masih saja ada yang melakukan perbuatan yang dilarang. Dalam hadis telah dijelaskan bahwa hukuman harus diterapkan untuk memberi petunjuk terhadap tingkah laku manusia. Sehubungan dengan hukuman yang dijatuhkan atas orang yang melakukan pelanggaran yang sifatnya badaniyah, Rasulullah saw bersabda :

Artinya: “Rasulullah saw bersabda: Suruhlah anak-anakmu mengerjakan shalat bila mereka telah berusia tujuh tahun, dan pukullah jika meninggalkannya bila mereka telah berumur sepuluh tahun, dan pisahkanlah mereka di tempat tidur.” (HR. Ahmad, Abu Daud dan Hakim yang mengatakan hadis ini shohih.‖ (Sabiq, 1974:169)

Mengenai hukuman, ada beberapa pandangan filsafat atau kepercayaan yang menganggap bahwa hidup ini termasuk sebagai suatu hukuman, karena kehidupan ini identik dengan penderitaan. Pandangan hidup yang demikian menganjurkan agar manusia menghindari diri dari hukuman atau penderitaan yang ada dalam kehidupan ini. Sebaliknya, ada penganut agama dan filsafat yang berbeda dengan pendapat tersebut. Mereka menganggap bahwa hidup ini sebagai suatu kebahagiaan yang tiada hentinya dan beranggapan kematianlah yang merupakan hukuman yang perlu ditakuti (Purwanto, 1955:185). Dari beberapa pemahaman di atas, dapat disimpulkan bahwa hukuman adalah pemberian penderitaan atau penghilangan stimulasi oleh pendidik (guru) sesudah terjadi pelanggaran, kejahatan atau kesalahan yang dilakukan anak. Hukuman juga dapat dikatakan sebagai penguat yang negatif, tetapi dalam pemberian hukuman harus diberikan secara tepat dan bijak sehingga dapat menjadi alat motivasi. Oleh karena itu, pemberian hukuman tidak serta merta sebagai suatu tindakan balas dendam pendidik (guru) terhadap anak didiknya yang tidak bisa mencapai harapan yang diinginkan. Dalam hal ini pendidik (guru) harus memahami segala bentuk prinsip-prinsip pemberian hukuman sebagai sanksi kependidikan.Tujuan Reward dan Punishment Secara subtansi, reward dan punishment mempunyai tujuan yang sama, yaitu sebagai reinforcement (penguatan) demi tercapainya kemandirian belajar anak. Tujuan pemberian penghargaan sama dengan tujuan pemberian hukuman, yaitu sama-sama membangkitkan perasaan dan tanggung jawab. Penghargaan bertujuan agar anak lebih bersemangat dalam memperbaiki dan mempertinggi prestasinya (Arifin, 1996:217). Teknik reward (penghargaan) merupakan teknik yang dianggap berhasil menumbuhkembangkan minat anak. Pemberian penghargaan dapat membangkitkan minat anak untuk mempelajari atau mengerjakan sesuatu, di mana tujuan pemberian penghargaan adalah membangkitkan atau mengembangkan minat. Jadi, penghargaan berperan untuk membuat pendahuluan saja. Penghargaan adalah alat, bukan tujuan, hendaknya diperhatikan jangan sampai penghargaan ini menjadi tujuan. Tujuan pemberian penghargaan dalam belajar adalah bahwa setelah seseorang menerima penghargaan karena telah melakukan kegiatan belajar dengan baik, ia akan terus melakukan kegiatan belajarnya secara mandiri di luar kelas atau sekolah (Hamalik, 2000:184). 

Sebaliknya, apabila anak belajar untuk mencari penghargan berupa hadiah, penghargaan, dan sebagainya, ia didorong oleh motivasi ekstrinsik, oleh sebab tujuan-tujuan itu terletak di luar perbuatan itu, yakni tidak terkandung di dalam perbuatan itu sendiri. “The goal is artificially introduced”. Tujuan itu bukan sesuatu yang wajar dalam kegiatan. Anak-anak didorong oleh motivasi intrinsik, bila mereka belajar agar lebih sanggup mengatasi kesulitan-kesulitan hidup, agar memperoleh pengertian, pengetahuan, sikap yang baik, dan penguasaan kecakapan hidup. 

Hasil-hasil itu sendiri telah merupakan penghargaan. “The reward of a thing well done is to have done it” (Emerson). Dalam membangkitkan motivasi anak tidaklah mudah, pendidik (guru) perlu mengetahui secara mendalam tentang kondisi psikologis anak dan memiliki kreativitas untuk menghubungkan materi pelajaran dengan kebutuhan dan minat anak (Nasution, 2000:78). 

Adapun kriteria pemberian hukuman yang diberikan pendidik (guru) dengan tujuan sebagai berikut: Pertama, punishment dilakukan untuk menciptakan kedisiplinan anak didik agar anak didik belajar dengan baik; 
Kedua, untuk melindungi anak didik dari perbuatan yang tidak wajar; Ketiga, untuk menakuti si pelanggar, agar meninggalkan perbuatannya yang melanggar itu. (Ahmadi, 2001:151).

Dalam proses pembelajaran, hukuman merupakan salah satu metode untuk mencapai tujuan pendidikan sehingga pemberian hukuman harus sesuai dengan tujuan pembelajaran, yaitu: 
Pertama, hukuman diadakan karena pelanggaran, dan kesalahan yang diperbuat oleh anak didik. 
Kedua, hukuman diadakan dengan tujuan agar tidak terjadi pelanggaran yang telah dilakukan anak didik (Ahmadi, 2001:153). 

Tujuan hukuman menurut Gunning sebagaimana dikutip Ngalim Purwanto, tidak lain adalah pengasuhan kata hati atau membangkitkan kata hati (Purwanto,1955:193). Artinya, hukuman yang diterapkan harus bertujuan untuk membangkitkan kesadaran yang timbul dari dalam diri anak terhadap kesalahan yang telah diperbuatnya, sehingga berusaha bertobat dan menyadari tentang kesalahan yang telah diperbuatnya. Tujuan tersebut dipandang paling tepat sesuai dengan tujuan pendidikan, karena mengarahkan anak untuk menyadari kesalahan yang diperbuatnya sehingga ia menyesal dan dengan penuh kesadaran berusaha untuk memperbaiki atau menghindarinya bahkan tidak akan mengulangi perbuatan itu lagi. Dalam pemberian hukuman ini, pendidik harus mengetahui kondisi psikologis anak sehingga tidak terjadi traumatis atau gangguan mental pada masa mendatang setelah hukuman diberikan. 

Posting Komentar

0 Komentar