Konsep-konsep Dasar Pariwisata

Konsep-konsep Dasar Pariwisata
Pariwisata merupakan salah satu dasar kebutuhan manusia. Sebagai kebutuhan dasar manusia, pariwisata akan memenuhi kebutuhan manusia untuk berlibur dan berekreasi, kebutuhan pendidikan dan penelitian, kebutuhan keagamaan, kebutuhan kesehatan jasmani dan ruhani, minat terhadap kebudayaan dan kesenian, kepentingan keamanan, kepentingan politik, dan hal-hal yang bersifat komersialisasi yang membantu kehidupan ekonomi masyarakat. Pariwisata dilakukan baik secara individual, keluarga, kelompok, dan paguyuban organisasi sosial. Pada umumnya paiwisata secara konvensional akan mengunjungi pengusahaan objek dan daya tarik wisata alam, budaya dan minat khusus. 

Objek wisata memiliki daya tarik yang berbeda-beda. Objek wisata memiliki daya tarik didasarkan atas sumberdaya yang dapat menimbulkan rasa senang, indah, nyaman, dan bersih. Adanya aksebilitas untuk mudah dikunjungi, adanya spesifikasi yang berbeda dengan yang lain, terdapat sarana dan prasarana penunjang untuk melayani para wisatawan yang hadir. Pada objek alam, biasanya objek wisata alam dijadikan primadona kunjungan karena eksotik merangsang untuk menciptakan kegiatan tambahan, rekreatif dan reflektif, terapis dan lapang, faktor sejarah maupun aktraktifnya.

Objek wisata didukung oleh tiga unsur pokok yaitu 
(1) main tourism superstructure (sarana pokok kepariwisataan) yang meliputi agen perjalanan, transportasi, restauran, objek wisata dan atraksi wisata, 
(2) suplementing tourism atau sarana pelengkap kepariwisataan yang meliputi fasilitas rekreasi dan olah raga, serta prasarana umum seperti jalan raya, jembatan, listrik, lapangan udara, telekomunikasi, air bersih, pelabuhan, dll. 
(3) supporting tourism superstructure yang meliputi hiburan malam, entertainmen, mailing service, souvernir shop, dll.

World Tourism Organization’s (UNWTO) World Tourism Organization’s (UNWTO) menyatakan pentignya turisme bagi perkembangan pembangunan negara-negara di dunia. Dikatakan bahwa :

Tourism really has the potential of opening up economic space for people around the world,” he told staff gathered to greet him at the headquarters building where UNWTO was hosting a meeting of the UN’s Chief Executives Board (CEB) for the first time. “We should encourage tourist developers to go and set up tourist developments,” he said, and in doing so to help provide basic amenities such as electricity and clean water for the communities living in those areas. This would help “uplift” the local people, “encouraging them to produce for the tourists.”

Pariwisata dapat dikembangkan melalui berbagai pendekatan, misalnya pendidikan dan pendekatan sosiologis. Ditilik dari pendekatan pendidikan, pengembangan dunia pariwisata perlu ditunjang dengan berbagai hal yaitu (a) pengadaan tenaga professional yang berkualitas sebagai upaya penanganan dan pengembangan kegiayan pelayanan kepariwisataan. Hal ini didapt dilakukan melalui jalur pendidikan professional, (2) pengadaan tenaga akademik yang mampu menganalisis dan mengembangkan konsep kepariwisataan dan pemanfaatannya baik yang berkenaan dengan berbagai landasan ekonomi, teknologi, kebudayaan, kesenian, antropologi dalam kepariwisataan. Sementara itu dalam pendekatan sosiologis sebagaimana dikembangkan Erik Cohen (1984; dalam Gede Pitana, 2005) bahwa pariwisata dapat dipandang berdasarkan konseptual (a) tourism as acommercialised hospitality, bahwa pariwisata adalah proses komersialisasi dari hubungan pengunjung dengan yang dikunjungi. Pengunjung, terutama wisatawan asing diberi status dan peranan sementara di masyarakat yang dikunjungi, yang kemudian diperhitungkan secara komersial. Pendekatan ini sesuai untuk menganalisis perkembangan dan dinamika hubungan host guest , termasuk berbagai konflik yang muncul serta berbagai institusi yang menangani (b) tourisme as a democratised travel, bahwa pariwisata dipandang sebagai perilaku perjalanan wisatawan dengan berbagai karakteristiknya. Pariwisata dipandang sebagai demikratisasi dari perjalanan, yang pada masa lalu dimonopoli oleh kaum aristokrat, tetapi sekarang sudah dapat dilakukan oleh siapa saja. (c) tourisrm as a,modern leisure activity, yaitu difokuskan pada wisatawan dipandang sebagai orang yang santai, yang melakukan perjalanan, bebas dari berbagai kewajiban. Modernitas dalam hal ini ditandai oleh rasa alienasi, fragmentasi, dan superfisialitas. Untuk menghilangkan kondisi semacam ini wisatawan mengunjungi daerah yang mampu memberikan autentisism. Pariwisata dipandang sebagai suatu institusi yang berfungsi khusus dalam masyarakat modern, yaitu mengembalikan masyarakat kepada situasi, harmoni dan keseimbangan. (d) tourism as a modern variety of a traditional pilgrimage, yaitu pariwisata diasosiasikan dengan ziarah keagamaan yang biasa dilakukan masyarakat tradisional, atau merupakan bentuk lain dari sacred journey. Pendekatan ini menganalisis makna struktural yang lebih dalam dari perjalanan wisata. Dalam hal ini atraksi wisata yang dinikmati wisatawan sekarang adalah persamaan dari simbol-simbol keagamaan pada masyarakat primitif. (e) tourism as an expression of basic cultural themes, yaitu bersifat emik yang merupakan lawan dari etik, dengan melihat pemaknaan perjalanan dari pihak pelaku perjalanan tersebut. Dengan pendekatan ini, dapat ditemukan berbagai klasifikasi perjalanan dari pihak pelaku perjalanan, yang sangat ditentukan oleh budaya pelaku pariwisata, (f) tourism as an aculturation process, yaitu pendekatan yang menfokuskan pada proses akulturasi, sebagai akibat dari interaksi host guest yang berlatar belakang budaya yang berbeda, (g) tourism as a type of etnic relations, yaitu pendekatan yang memperhatikan pada hubungan host guest dan mengaitkannya dengan teori-teori etnisitas dan hubungan antaretnis, atau dampak-dampak yang timbul terkait dengan identitas etnis. (h) tourism as a form of neo-colonialism, yaitu dependensi atau ketergantungan yang merupakan salah satu masalah yang menjadi fokus kajian. Pariwisata dipandang sangat berperan di dalam mempertajam hubungan metropolis, periferi, karena negara penghasil wisatawan akan menjadi dominan, sedangkan negara penerima akan menjadi satelit atau periperal, dan hubungan ini merupakan pengulangan kolonialisme atau imperialisme, yang pada muaranya akan menghasilkan dominasi dan keterbelakangan struktural. Adanya ketimpangan ekonomi yang besar ke negara-negara maju menyebabkan pariwisata, pada dasarnya menjadi wahana baru bagi munculnya neokolonialisme.

Pariwisata telah menjadi sektor terpenting dalam pembangunan, khususnya dlam menunjang pendapatan asli di luar Migas dan Perkebunan dan Hasil Hutan. Pariwisata telah menjadi industri yang memacu sektor-sektor lain. Masing- masing wilayah berlomba-lomba mengembangkan wisata sesuatu dengan kompetensi dan kekayaan yang dimilikinya, sehingga tidak heran sekarang banyak bermunculan jenis-jenis periwisata. Wilayah-wilayah yang tidak memiliki potensi alam seperti gunung dan pantai, memiliki kesulitan untuk mengembangkan potensi wisata alam, namun kota dapat berkembang ke arah wisata non alam. Oleh sebab itu perlu konsep dasar yang mengarah pada upaya penganekaragaman atau diversitas dan perlunya mendapat kajian akademis lintar disiplin ilmu yang disebut multidisiplinaritas pariwisata.

Pariwisata budaya dapat dikembangkan oleh daerah-daerah yang memiliki kekayaan warisan budaya dan sampai sekarang memiliki eksistensi untuk tetap dilestarikan, seperti Yogyakarta dan Bali. Pihak pemerintah setempat tentunya memberikan perlindungan melalui peraturan-peraturan daerah yang berhasil dilegalisasi DPRD setempat. Sebagaimana di Bali menurut Perda Nomor 3 tahun 1991 yang menetapkan pariwisata budaya sebagai jenis kepariwisataan yang dalam perkembangannya menggunakan kebudayaan Bali yang dijiwai agama Hindu yang merupakan bagian dari kebudayaan nasional sebagai potensi dasar yang paling dominan yang didalamnya tersirat suatu cita-cita hubungan timbal balik pariwisata dan kebudayaan sehingga keduanya berkembang secara selaras, serasi dan seimbang. Proposisi konsep dasar ini adalah Kebudayaan dan Pariwisata harus berada dalam pola hubungan interaktif yang bersifat dinamik dan progresif.

Sementara itu pada konsep dasar multidisiplinaritas pariwisata memandang bahwa pariwisata dapat didekati dari berbagai disiplin ilmu guna pengembangan dan penemuan objek-objek baru sesuai dengan kondisi dan situasi suatu daerah. Sebagai contoh kemajuan di bidang ekonomi dan perubahan sosial yang menyebabkan masyarakat cenderung ke arah konsumtif tercipta wisata belanja yang sangat sesuai dengan wilayah perkotaan dan metropolis.

Hal ini tentunya membawa dampak sosial, budaya, spiritualitas, ekonomi rakyat, dan lingkungan. Melalui kajian antardisiplin ilmu akan diperoleh sebuah solusi pengembangan objek wisata baru dengan pengadaan sarana prasarana yang sangat kompleks dengan kehidupan sosial. Pengembangan suatu kawasan dapat menimbulkan dampak biofisik, sosial ekonomi maupun sosial budaya baik yang bernilai positif maupun negartif yang dalam perkembangannya akan berpengaruh terhadap kesejahteraan masyarakat. Berikutnya dengan diberlakukannya UU Nomor 22 tahun 1999 tentang otonomi daerah sudah tentu memiliki kompleksitas dalam penanganan berbagai sumberdaya, kewenangan merumuskan dan menetapkan peraturan perda kepariwisataan dan peningkatan pendapatan asli daerah sebagai konsekuensi growth oriented development. Dua aspek lain konsep multidisipliratitas pariwisata adalah teori-teori partisipasi masyarakat dan teori perubahan sosial. Dalam teori partisipasi disebutkan bahwa pembangunan pariwisata berdimensi kerakyatan mengacu kepada pembangunan pariwisata yang berasal dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.Partisipasi efektif merupakan tujuan konsep pariwisata ini. Wewenang atau kekuasaan masyarakat lokal untuk berpartisipasi secara efektif memobilisasi diri dalam mengelola sumber-sumber daya setempat. Cernea (1991 dalam Pujaastawa, 2005) menyatakan bahwa pendekatan ini melibatkan masyarakat sebagai proses pengembangan dirinya. Sementara dalam konsep teori perubahan sosial, dititik beratkan pada bentuk-bentuk perubahan sttuktur sosial masyarakat sebagai konsekuensi perubahan nilai yang berkembang di masyarakat.

Teori-teori perubahan sosial yang relevan untuk studi pariwisata misalnya teori evolusioner, yang menekankan pada perubahan sosial yang memiliki arah tetap yang dilalui oleh semua masyarakat menuju ke arah tujuan akhir. Selanjutnya teori siklus yang menyatakan adanya sejumlah tahap yang harus dilalui oleh masyarakat tetapi mereka berpandangan bahwa proses peralihan masyarakat bukan berakhir pada tahap terakhir yang sempurna melainkan berputar kembali ke tahap awal untuk peralihan selanjutnya. Selain itu teori fungsional maupun teori konflik yang mengarah pada perubahan sebagai sesuai yang konstan dan tidak memerlukan penjelasan karena perubahan dianggap mengacaukan keseimbangan masyarakat. Berbeda dengan teori konflik yang menilai bahwa yang konstan adalah konflik sosial, bukan perubahan, karena konflik berlangsung secara terus menerus, demikian pual perubahan pun demikian adanya.

Masyarakat dan Kebudayaan Perkotaan
Pariwisata wilayah perkotaan yang tidak mengandalkan keindahan alam seperti gunung dan pantai serta lebih bercorak budaya urban memiliki keterkaitan dengan masyarakat dan kebudayaan perkotaan. Kota merupakan sebuah tata ruang yang terbagi atas tanah-tanah mahal yang fungsional. Setiap petak merupakan sebuah investasi sosial ekonomi dan terakses dengan berbagai akses perekonomian masyarakat. Tata ruang kota yang khas ini memberikan sebuah masalah lingkungan hidup perkotaan dan secara sosiologis mempengaruhi pola-pola komunikasi masyarakatnya.

Parsudi Suparlan (2004:9) menjelaskan kajian-kajian yang menyangkut masyarakat dan kebudayaan perkotaan yang dapat dimanfaatkan untuk konsep dasar kajian-kajian interdipliner yaitu 
(1) kajian atau penelitian yang dilakukan harus dapat mendefinisikan kota atau kota-kota yang tercakup dalam kajiannya sebagai bagian yang tidak dapat terpisahkan dari sasaran konseptual dan penelitiannya, 
(2) kajian atau penelitian yang memfokuskan untuk meneliti silang budaya tidak harus terpaku pada model urbanisne sebagaimana di dunia barat, tetapi betul-betul dapat menggali dan menemukan pola-pola yang berlaku secara empirik dalam kehidupan kota yang ditelitinya, 
(3) harus menggunakan pendekatan yang holistik mengenai kota dan berbagai kaitan hubungan kota tersebut dengan pola-pola kelakuan dan pola-pola budaya masyarakat yang lebih luas. Dan 
(4) perlunya penggunaan pemikiran diakronik untuk dapat mengkaji sebab-sebab kemunculan dan kemantapan sesuatu permasalahan yang ada.

Posting Komentar

0 Komentar