Batasan “Kelembagaan” Lebih Operasional

Batasan “Kelembagaan” Lebih Operasional 
Dari paparan di atas terlihat secara ringkas bagaimana konsep “kelembagaan” dan “keorganisasian” digunakan dalam perkembangan ilmu sosiologi. Terlihat bagaimana sebuah konsep terbentuk, yang pada akhirnya kedua kata tersebut dibedakan secara tegas. Semakin mantapnya konsep tersebut merupakan indikator pentingnya kedudukannya dalam khasanah ilmu sosiologi. Dengan memahami dan membatasi maka ia menjadi berguna dalam membantu para sosiolog untuk mempelajari masyarakat.

Perkembangan yang terjadi adalah adanya pembedaan yang semakin tegas, bahwa “kelembagaan” dan “keorganisasian” berbeda. Artinya, terjadi perubahan dari pengertian yang “luas dan baur” menjadi “sempit dan tegas”. Kesadaran perlunya pembedaan, serta lahirnya pembedaan tersebut terlihat pada buku-buku yang dirilis tahun 1950-an. Dengan membedakannya secara tegas, maka ia dapat digunakan misalnya untuk melihat bagian mana yang lemah dan kuat dalam menganalisa suatu sistem sosial.

Pada awalnya, istilah institution dan organization cenderung tidak dibedakan dan bahkan adakalnya digunakan secara bolak balik. Sumner pada tahun 1906 misalnya, masih memasukkan unsur “struktur” di bawah entry kelembagaan. Ini karena kelembagaan merupakan bagian yang ia nilai jauh lebih penting dari suatu kelompok sosial, karena menjadi nyawa kehidupan sosial. Sebaliknya, Durkheim (tahun 1897) dan Cooley (tahun 1909) memasukkan unsur-unsur nilai, norma, dan kepercayaan ketika mengkaji organisasi sosial. Terjadinya tumpang tindih tersebut adalah persoalan perbedaan dari sisi mana seorang ilmuwan memasukinya, terlihat dari kata apa yang digunakannya. Pembedaan yang mulai tegas terlihat misalnya pada Mac Iver dan Page setelah setengah abad kemudian, yaitu pada bukunya yang terbit tahun 1949, serta L. Broom dan P. Selznik tahun 1950.

Dari berbagai bahan bacaan di atas, maka kita sekarang dapat membuat pembagian secara lebih tegas. Apa yang disebut dengan ‘kelembagaan’ secara keilmuan setara dengan suatu ‘organisasi’. Namun di dalamnya, setiap ‘kelembagaan’ ataupun ‘organisasi’ tersebut dapat dibagi lagi menjadi dua bagian, yaitu ‘aspek-aspek kelembagaan’ dan ‘aspek-aspek keorganiasian’. Pembedaan suatu kelembagaan menjadi dua aspek, yaitu aspek kelmbagaan dan organisasi merupakan jalan terbaik agar kita dapat menganalisa secara mendalam.

Usaha memilah-milah atau membeda-bedakan merupakan kebutuhan dasar dalam pekerjaan keilmuan, untuk kemudian menganalisa, mensintesa, dan seterusnya Dari bahasan di atas sudah ditunjukkan bahwa norma dan perilaku merupakan dua objek pokok dalam kajian kelembagaan, sementara organisasi semakin kuat kepada hanya memperhatikan masalah struktur serta peran. Berikut dipaparkan perbedaan antara “aspek kelembagaan” dan “aspek keorganisasian” dalam suatu kelembagaan.

Pemahaman lebih jauh terhadap tabel di atas memberikan kesimpulan, bahwa kedua aspek tersebut merupakan dua hal utama dalam sosiologi. Dalam buku Taneko (1993: judul buku “Struktur dan Proses Sosial”) misalnya terlihat bahwa dua inti pokok dalam sosiologi adalah segi struktur dan segi dinamikanya (proses sosial). Terlihat bahwa kajian kelembagaan dan organisasi tersebut hampir seluas kajian sosiologi itu sendiri. Selain itu, keduanya juga bersifat saling melengkapi. Justeru dengan mengkaji keduanyalah analisa sosiologis terhadap suatu sistem sosial menjadi lengkap. Dengan memahami ini kita sampai kepada kajian yang menyatukan keduanya.

Pokok perhatian dalam sosiologi adalah aspek perilaku manusia dan struktur sosial. Keduanya merupakan hal yang muncul ke permukaan, sedangkan yang berada di belakangnya adalah hal-hal yang lebih abstrak, terutama nilai dan norma. Setiap perilaku yang dibakukan dalam struktur sosial pastilah memiliki nilai dan normanya sendiri. Beberapa analogi dapat diguanakan untuk menjelaskan perbedaan ini antara aspek kelembagaan dan aspek keorganiasian. Jika dianalogkan dengan bekerjanya sebuah sistem komputer, maka kelembagaan merupakan software-nya dan organisasi merupakan bagian hardware-nya (Pakpahan, 1991: Nataatmadja, 1993). Namun, jika kelembagaan dianalogkan dengan tubuh manusia, maka aspek kelembagaan merupakan daging dan pembuluh darah, dimana hilir mudiknya darah dianalogkan sebagai bentuk aktivitas sosial yang sesungguhnya. Sementara tulang dengan bentuk dan susunannya merupakan aspek keorganisasian.

Dalam contoh lain, jika dianalogkan dengan sebuah gedung perkantoran. Maka aspek kelembagaan adalah berbagai bentuk aktivitas manusia yang bekerja di dalamnya, yang aliran manusia di dalamnya dikendalikan dan dibatasi oleh dinding, tangga, dan pintu. Bangunan itu sendiri, berupa dinding, tangga, dan pintu-pintunya itulah yang dimaksudkan dengan aspek keorganisasiannya.

Kinerja Kelembagaan
Kinerja kelembagaan didefinisikan sebagai kemampuan suatu kelembagaan untuk menggunakan sumberdaya yang dimilikinya secara efisien dan menghasilkan output yang sesuai dengan tujuannya dan relevan dengan kebutuhan pengguna (Peterson, 2003). Ada dua hal untuk menilai kinerja kelembagaan yaitu produknya sendiri berupa jasa atau material, dan faktor manajemen yang membuat produk tersebut bisa dihasilkan. Satu cara yang lebih sederhana telah dikembangkan untuk memahami kinerja internal dan (sedikit) eksternal suatu kelembagaan, melalui ukuran-ukuran dalam ilmu manajemen. Ada empat dimensi untuk mempelajari suatu kelembagaan (institutional assessment), yaitu (Mackay et al., 1998):

Satu, kondisi lingkungan eksternal (the external environment). Lingkungan sosial di mana suatu kelembagaan hidup merupakan faktor pengaruh yang dapat menjadi pendorong dan sekaligus pembatas seberapa jauh sesuatu kelembagaan dapat beroperasi. Lingkungan dimaksud berupa kondisi politik dan pemerintahan (administrative and external policies environment), sosiolkultural (sociocultural environment), teknologi (technological environment), kondisi perekonomian (economic enviroenment), berbagai kelompok kepentingan (stakeholders), infrastuktur, serta kebijakan terhadap pengelolaan sumberdaya alam (policy natural resources environment). Seluruh komponen lingkungan tersebut perlu dipelajari dan dapat dianalisis bentuk pengaruhnya terhadap kelembagaan yang dipelajari. Sebagian memiliki pengaruh yang lebih kuat dan langsung, sebagian tidak. Implikasi kebijakan yang disusun dapat dialamatkan kepada lingkungan tersebut, jika disimpulkan telah menjadi faktor penghambat terhadap operasioal suatu kelembagaan.

Kedua, motivasi kelembagaan (institutional motivation). Kelembagaan dipandang sebagai suatu unit kajian yang memiliki jiwanya sendiri. terdapat empat aspek yang bisa dipelajari untuk mengetahui motivasi kelembagaan, yaitu sejarah kelembagaan (institutional history), misi yang diembannya, kultur yang menjadi pegangan dalam bersikap dan berperilaku anggotanya, serta pola penghargaan yang dianut (incentive schemes). Suatu fakta sosial adalah fakta historik. Sejarah perjalanan kelembagaan merupakan pintu masuk yang baik untuk mengenali secara cepat aspek-aspek kelembagaan yang lain.

Tiga, kapasitas kelembagaan (institutional capacity). Pada bagian ini dipelajari bagaimana kemampuan kelembagaan untuk mencapai tujuan-tujuannya sendiri. Kemampuan tersebut diukur dari lima aspek, yaitu: strategi kepemimpinan yang dipakai (strategic leadership), perencanaan program (program planning), manajemen dan pelaksanaannya (management and execution), alokasi sumberdaya yang dimiliki (resource allocation), dan hubungan dengan pihak luar yaitu terhadap clients, partners, government policymakers, dan external donors.

Empat, kinerja kelembagaan (institutional performance). Terdapat tiga hal pokok yang harus diperhatikan yaitu keefektifan kelembagaan dalam mencapai tujuan-tujuannya, efisiensi penggunaan sumber daya, dan keberlanjutan kelembagaan berinteraksi dengan para kelompok kepentingan di luarnya. Terkesan di sini bahwa kalkulasi secara ekonomi merupakan prinsip yang menjadi latar belakangnya. Untuk mengukur keefektifan dan efisiensi misalnya dapat digunakan analisis kuantitatif sederhana misalnya dengan membuat rasio antara perolehan yang seharusnya dengan yang aktual tercapai, serta rasio biaya dengan produktivitas.

Penguatan Kapasitas Kelembagaan
Penguatan kapasitas kelembagaan merupakan suatu pendekatan pembangunan dimana semua orang (pihak) memiliki hak yang sama terhadap sumberdaya, dan menjadi perencana pembangunan bagi diri mereka. Menurut Eade dalam Tony (2006), pengembangan kapasitas kelembagaan terfokus pada lima isu pokok sebagai berikut :
a. Penguatan kapasitas kelembagaan sering digunakan secara sederhana untuk menjadikan suatu lembaga lebih efektif mengimplementasikan proyek pembangunan.Kelembagaan merupakan instrumen untuk mencapai tujuan tertentu.
b. Penguatan kapasitas kelembagaan dapat juga menunjuk pada upaya yang mendukung organisasi untuk menjadi katalis dialog dan atau memberikan kontribusi dalam mencapai alternatif pembangunan. Pandangan ini menekankan peran mendemokratisasikan organisasi pemerintah dan organisasi berbasis masyarakat dalam masyarakat madani.
c. Jika penguatan kapasitas kelembagaan adalah suatu cara untuk mencapai tujuan, kemudian tujuan yang dimaksudkan oleh lembaga-lembaga yang ikut serta, maka harus dinyatakan secara eksplisit agar dapat membandingkan berbagai pilhan atau mengevaluasi kemajuannya. Fokusnya adalah mengembangkan hubungan antara struktur, proses dan kegiatan organisasi yang menerima dukungan dan kualitas dan jumlah dari hasilnya dan efeknya. Kriteria efektivitas terkonsentrasi pada dampaknya di tingkat lokal.
d. Jika penguatan kapasitas kelembagaan merupakan tujuan akhir (misalnya memperkuat kualitas suatu pengambilan keputusan), maka pilihan tersebut membutuhkan tujuan yang jelas dan analisis kontekstual terhadap unsur-unsur kelembagaan. Fokusnya adalah misi organisasi yang berimbang, dan keterkaitan dengan lingkungan eksternal, struktur dan dan aktivitasnya. Kriteria efektivitasnya akan berhubungan dengan faktor luar dimana misi itu dirasakan tepat, masuk akal dan terpenuhi.
e. Jika penguatan kapasitas kelembagaan adalah suatu proses penyesuaian untuk merubah dan proses penegasan terhadap sumberdaya untuk mengatasi tantangan maupun keinginan untuk aksi keberlanjutan. Fokusnya adalah membantu mitra kerja untuk menjadi lebih mandiri dalam hubungan jangka panjang.

Menurut Sumpeno (2002), penguatan kapasitas adalah suatu proses peningkatan atau perubahan perilaku individu, organisasi dan sistem masyarakat dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan secara efektif dan efeisien. Penguatan kapasitas adalah perubahan perilaku untuk : 
a. meningkatkan kemampuan individu dalam pengetahuan, ketrampilan dan sikap;
b. meningkatkan kemampuan kelembagaan dalam organisasi dan manajemen, finansial dan kultur; 
c. meningkatkan kemampuan masyarakat dalam kemandirian, keswadayaan dan mengantisipasi perubahan.

Menurut Sumpeno (2002), hasil yang diharapkan dengan adanya penguatan kapasitas adalah : 
a. penguatan individu, organisasi dan masyarakat;
b. terbentuknya model pengembangan kapasitas dan program; 
c. terbangunnya sinergisitas pelaku dan kelembagaan.

Mengacu pendapat tersebut di atas, terdapat dua fokus dalam penguatan kapasitas, yaitu : 
a. perubahan perilaku, 
b. strategi dalam penguatan kelembagaan untuk mengatasi masalah dan pemenuhan kebutuhan masyrakat.

Dengan adanya strategi penguatan kapasitas kelembagaan diharapkan pemberdayaan masyarakat secara institusional maupun secara individu dapat terwujud.

Pengembangan kapasitas masyarakat menurut Maskun (1999) merupakan suatu pendekatan pembangunan yang berbasis pada kekuatankekuatan dari bawah secara nyata. Kekuatan-kekuatan itu adalah kekuatan sumberdaya alam, sumberdaya ekonomi dan sumberdaya manusia sehingga menjadi suatu local capacity. Kapasitas lokal yang dimaksud adalah kapasitas pemerintah daerah, kapasitas kelembagaan swasta dan kapasitas masyarakat desa terutama dalam bentuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusia dalam menghadapi tangtangan pengembangan potensi alam dan ekonomi setempat.Organisasi-organisasi lokal diberi kebebasan untuk menentukan kebutuhan organisasinya dan kebutuhan masyarakat. Dalam konteks seperti itu otonomi dan pembangunan masyarakat oleh masyarakat adalah suatu konsep yang sejalan. Karena itu kebutuhan penting di sini adalah bagaimana mengembangkan kapasitas masyarakat, yang mencakup kapasitas institusi dan kapasitas sumberdaya manusia. Dalam konteks seperti itu pemerintah memiliki fungsi menciptakan strategi kebijakan sebagai landasan bagi organisasi local untuk mengembangkan kreativitasnya. Dalam pengertian lain pemerintah pusat mengemban fungsi steering (mengarahkan), sedangkan “lokal” mengemban fungsi rowing (menjalankan). Analog dengan pengertian bahwa pemerintah daerah mengambil kebijakan strategis di daerah agar masyarakat mampu mengemban kapasitas nya sendiri.

Didalam penguatan kapasitas kelembagaan, kerjasama antar pihak menjadi sangat penting, dalam hal ini kerjasama pemerintah, swasta dan Non Goverment Organization (Lembaga Pengembangan Masyarakat) serta masyarakat itu sendiri.

Hubungan Antara Penguatan Kapasitas Kelembagaan Dengan Modal Sosial
Penguatan kelembagaan agar dapat berkembang serta mampu menggerakkan sumber daya masyarakat, maka penguatan kapasitas kelembagaan harus berbasis komunitas, dalam artian penguatan kelembagaan direncanakan dan dilaksanakan oleh komunitas secara partisipatif untuk kepentingan komunitas. Oleh karena itu di dalam proses penguatan kapasitas kelembagaan memanfaatkan faktor modal sosial yang ada di masyarakat. Dalam pengembangan modal sosial dan komunitas terdapat tujuh pendekatan yang khas dan untuk setiap komunitas dan modal sosial, yaitu : 
a. kepemimpinan komunitas (community leader); 
b. dana komunitas (community funds); 
c. sumber daya material (community material); 
d. pengetahuan komunitas (community knowledge); 
e. teknologi komunitas (community technology); 
f. proses-proses pengambilan keputusan oleh komunitas (community decision making); dan
g. organisasi komunitas (community organization), (Tony et al, 2006).

Konsep dana tidak saja mencakup uang sebagai alat tukar yang umum dipakai sebagai alat tukar sekarang, tetapi juga meliputi hubungan yang mereka jalin (Rachman, dalam Tonny, 2006). Secara umum modal sosial didefinisikan sebagai informasi, kepercayaan dan norma-norma timbal balik yang melihat dalam suatu sistem jaringan sosial (Wool Cock seperti dikutip Tonny, 2006). Hal tersebut sejalan dengan Fukuyama (2002) dalam Tonny (2006) yang menyatakan bahwa Social capital (modal sosial) adalah kapabilitas yang muncul dari kepercayaan umum di dalam sebuah masyarakat atau di bagian-bagian tertentu darinya. Ia bisa dilembagakan dalam kelompok sosial yang paling kecil dan paling mendasar, demikian juga kelompok-kelompok masyarakat yang paling besar, negara, dan dalam seluruh kelompok lain yang ada diantaranya.

Komunitas-komunitas yang berdasarkan nilai-nilai etis bersama ini tidak memerlukan kontrak ekstentif dengan segenap pasal-pasal hukum yang mengatur hubungan-hubungan mereka, karena konsensus moral sebelumnya cukup memberikan kepada anggota kelompok itu basis untuk terwujudnya sikap saling percaya.

Lebih lanjut dikatakan bahwa penguatan kapasitas kelembagaan berbasis komunitas dilakukan dengan memperhatikan faktor modal sosial yang ada di masyarakat. Modal sosial (social capital) secara sederhana bisa didefinisikan sebagai serangkaian nilai-nilai atau norma-norma informal yang dimiliki bersama diantara para anggota suatu kelompok yang memungkinkan terjalinnya kerjasama diantara mereka. Jika para anggota kelompok itu mengharapkan bahwa anggota-anggota yang lain akan berperilaku jujur dan terpercaya, maka mereka akan saling mempercayai, kepercayaan ibarat pelumas yang membuat jalannya kelompok atau organisasi lebih efisien (Fukuyama, (2002) dalam Tonny (2006).

Dalam pelaksanaan kegiatan penguatan kelembagaan, prinsip-prinsip pengembangan masyarakat yang menjadi acuan, landasan dan penerapan dalam seluruh proses kegiatan. Prinsip-prinsip tersebut harus dijunjung tinggi, ditumbuhkembangkan serta dilestarikan oleh semua pelaku dan stakeholder yang berkaitan dengan kegiatan. Prinsip-prinsip yang diperlukan adalah sebagai berikut :
a. Demokrasi. Dalam setiap proses pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan anggota pada khususnya dan masyarakat pada umumnya, terutama kepentingan masyarakat golongan bawah, maka mekanisme pengambilan keputusan dilakukan secara kolektif dan demokratis. Anggota dan/ atau masyarakat didorong agar mampu membangun dan memperkuat kelembagaan dengan representasi, yang akseptabel, insklusif, transparan, demokrasi dan akuntabel.

b. Partisipasi. Dalam tiap langkah kegiatan pengembangan masyarakat harus dilakukan secara partisipatif sehingga mampu membangun rasa kebersamaan melalui proses belajar dan bekerja bersama. Partisipasi dibangun dengan menekan proses pengambilan keputusan oleh warga, mulai dari tataran ide/ gagasan, perencanaan, pengorganisasian, pemupukan sumber daya, pelaksanaan hingga evaluasi dan pemeliharaan. Partisipasi juga berarti upaya melibatkan segenap komponen masyarakat, khususnya kelompok masyarakat yang rentan (Vulnerable groups) yang selama ini tidak memiliki peluang/ akses dalam program pengembangan masyarakat.

c. Transparansi dan Akuntabilitas. Dalam proses manajemen proyek maupun manajemen kelembagaan masyarakat harus menerapkan prinsip transparansi dan akuntabilitas, sehingga masyarakat belajar dan “Melembagakan” sikap bertanggung jawab serta tanggung gugat terhadap pilihan keputusan dan kegiatan yang dilaksanakannya. Transparan juga berarti terbuka untuk diketahui masyarakat sendiri dan pihak terkait lainnya, serta menyebarluaskan hasil pemeriksaan dan audit ke masyarakat, pemerintah, lembaga, donor, serta pihak-pihak lainnya. Di dalam pengembangan masyarakat terdapat prinsip transparansi, yaitu keterbukaan terhadap pelaksanaan program dengan tujuan seluruh warga masyarakat dapat mengetahui keseluruhan tentang program pengembangan masyarakat sampai dengan pelaksanaan kegiatannya, sehingga masyarakat dapat berperan aktif dalam mengontrol kegiatan-kegiatan pengembangan masyarakat di desanya, baik program yang datang dari pemerintah maupun program yang tumbuh atas prakarsa masyarakat.

d. Desentralisasi. Dalam rangka otonomi daerah, proses pengembalian keputusan yang langsung menyangkut kehidupan dan penghidupan masyarakat agar dilakukan sedekat mungkin dengan pemanfaatan atau diserahkan pada masyarakat sendiri, sehingga keputusan benar-benar bermanfaat bagi masyarakat banyak. Disamping prinsip-prinsip seperti diatas diperlukan nilai-nilai untuk menunjang pelaksanaan program-program pengembangan masyarakat antara lain :

Dapat dipercaya. Semua pihak yang terkait dengan pelaksanaan kegiatan/program pengembangan masyarakat harus benar-benar dapat manjaga kepercayaan yang diberi masyarakat maupun pemerintah untuk menerapkan aturan main dengan baik dan benar. Dengan demikian, pemilihan pelaku-pelaku ditingkat masyarakat pun harus menghasilkan figur-figur yang benar-benar di percaya masyarakat sendiri, bukan semata mempertimbangkan status sosial, pengalaman serta jabatan.

Ketulusan. Dalam melaksanakan kegiatan yang berkaitan dengan kegiatan benar-benar berlandaskan niat tulus dan ikhlas untuk turut memberikan kontribusi bagi pembenahan lingkungan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat yang ada di wilayahnya, kepentingan pribadi serta golongan atau kelompoknya.

Kejujuran. Dalam proses pengambilan keputusan, pengelolaan dana serta pelaksanaan kegiatan pengembangan masyarakat dilakukan dengan jujur sehingga tidak dibenarkan adanya upaya-upaya untuk merekayasa, memanipulasi maupun menutup-nutupi sesuatu yang dapat merugikan masyarakat serta menyimpang dari visi, misi dan tujuan pengembangan masyarakat.

Keadilan. Dalam pelaksanaan kebijakan dan melaksanakan pengembangan masyarakat harus menekankan rasa keadilan (Faimes), kebutuhan nyata dan kepentingan masyarakat miskin. Keadilan dalam hal ini tidak berarti sekedar pemerataan.

Kesetaraan. Dalam pelibatan masyarakat pada pelaksanaan dan pemanfaatan tidak membeda-bedakan latar belakang, asal usul, agama, status, maupun jenis kelamin dan lain-lainnya. Semua pihak diberi kesempatan yang sama untuk terlibat dan/ atau menerima manfaat, termasuk dalam proses pengambilan keputusan.

Kebersamaan dalam keseragaman. Dalam melaksanakan kegiatan penanggulangan kemiskinan perlu dioptimalkan gerakan masyarakat, melalui kebersamaan dan kesatuan masyarakat, sehingga urusan pengelolaan hutan bersama masyarakat dan peningkatan taraf hidup benar-benar menjadi urusan semua warga masyarakat dari berbagai latar belakang suku, agama, mata pencaharian, budaya pendidikan dan sebagainya dan bukan hanya dari satu kelompok masyarakat atau pelaku sekelompok saja.

Sambungannya :

Pembedaan Kelembagaan dan Organisasi

Posting Komentar

0 Komentar