Tahapan Perkembangan Kepercayaan Menurut Fowler

Tahapan Perkembangan Kepercayaan Menurut Fowler 
A. Biografi Singkat Fowler
James Fowler adalah seorang teolog, profesor universitas, human development theorist, dan United Methodist menteri yang telah menulis secara luas tentang gagasan iman. Dia memegang posisi mengajar di Harvard Divinity School dan Boston College pada awal 1970, dan telah mengajar di Emory University sejak tahun 1977.Dia adalah seorang ahli di bidang agama dan psikologi, dan etika dan kehidupan publik, dan penulis beberapa buku.

Ayahnya adalah Methodis menteri dan ibunya seorang QuakerMy mother, a Quaker, adopted his Methodist. Istrinya, Lurline, adalah seorang Direktur Pendidikan Kristen di Universitas DrewTheological Seminary in Madison, New Jersey, where both of us stud- Theological Seminary, Madison, New Jersey.

Fowler menunjukkan bahwa iman mengalami proses pembangunan. Ide-idenya mengikuti sepanjang garis tahap-teori Jean Piaget, Erik Erikson & Lawrence Kohlberg.

Iman yang diteliti oleh Fowler berupa sebuah aktivitas manusia yang universal, sebuah orientasi hidup yang mungkin atau mungkin tidak religious. Hal tersebut dapat dicirikan sebagai proses yang terpisah namun berpusat mendasari pembentukan keyakinan, nilai, makna yang memberi koherensi dan arah bagi kehidupan orang, jaringan yang mereka bentuk untuk berbagi kepercayaan dan kesetiaan dengan orang lain, alasan pribadi mereka, sikap dan loyalitas komunal dalam arti keterkaitan untuk kerangka acuan yang lebih besar, dan memungkinkan mereka untuk menghadapi serta menangani kondisi batas kehidupan manusia, mengandalkan yang memiliki kualitas ultimasi dalam hidup mereka.

B. Konsep – konsep Teori Fowler
James W. Fowler mengembangkan suatu teori yang disebutnya “Faith Development Theory”. Teorinya ini lebih menjurus pada psikologi agama. Namun pendekatannya ini membantu kita dalam memahami tahapan perkembangan kepercayaan seorang manusia dan satu komunitas. Atau membantu dalam memahami alasan-alasan mengapa dan bagaimana seorang menjadi percaya atau beragama.

Beragama bagi Fowler adalah bagian dari proses mencari makna, sebab itu menurutnya manusia adalah meaning maker (pemberi arti). Manusia adalah subyek yang bermakna dan memberi/menciptakan makna pada sesuatu atau pada iman (faith), dan kepercayaan (belief) atau agama.

Proses memberi makna itu yang memperlihatkan bahwa manusialah yang menyusun suatu penjelasan terhadap berbagai pengertian yang semula tidak tersusun secara rapi. Fenomena-fenomena percaya awal adalah suatu susunan pemikiran dan pengertian yang ‘talamburang’ (tidak teratur). Manusialah yang menyusunnya. Dalam proses penyusunan itu manusia juga yang mencari suatu material/simbol (sign) yang sinonim atau bisa merepresentasi hal yang dipercayainya itu. Karena itu menjadi percaya, atau iman adalah juga suatu proses semantik yang dibuat oleh manusia.

Rupanya Fowler tidak mau terlalu dipusingkan dengan hal-hal semantik itu seperti halnya para antropolog agama seperti E.B. Tylor (di masa Klasik) atau Ruth Benedict dan Fiona Bowie (di masa modern).

Sederhananya bagi Fowler ialah ‘faith’ dimengertinya sebagai sesuatu yang luas dari sekedar ‘kepercayaan’ (belief), walau keduanya sinonim dengan ‘tindak pengartian’ (upaya memberi arti/menjelaskan). Sebab kepercayaan menyangkut mental untuk menciptakan, memelihara dan mentransformasi arti. Hasilnya adalah apa yang disebutnya sebagai ‘kepercayaan eksistensial’.

Kepercayaan eksistensial itu sendiri menurutnya merupakan suatu kegiatan relasional, artinya ‘berada-dalam-relasi-dengan-sesuatu’. Maka kepercayaan eksistensial diawali oleh ‘rasa percaya’. ‘Sayapercaya dalam arti bahwa saya menyerahkan diri seluruhnya dan mengandalkan engkau’.

Hal itu berarti tiga hal. Pertama, kepercayaan sebagai cara seorang pribadi (atau kelompok) melihat hubungannya dengan orang lain, dengan siapa ia merasa dirinya bersatu berdasarkan latar belakang sejumlah tujuan dan pengartian yang dimiliki bersama.

Ini menjurus pada adanya suatu ajaran yang membentuk ranah kognisi dalam hal menjadi percaya. Tetapi juga suatu sistem praktek yang membentuk ranah afeksi dan motorik.

Kedua, kepercayaan sebagai cara tertentu, dengan mana pribadi menafsirkan dan menjelaskan seluruh peristiwa dan pengalaman yang berlangsung dalam segala lapangan daya kehidupannya yang majemuk dan kompleks.

Aktifitas menafsir (interpretation) dan menjelaskan (clarification) di sini mengamanatkan bahwa kepercayaan adalah bagian dari suatu hermeneutika kehidupan, yang terkait bukan dengan dokumen-dokumen kudus yang turut menyusun dogma agama melainkan dokumen-dokumen kehidupan yang selalu dijumpai manusia dalam pengalaman nyata di masyarakat/dunianya.

Ketiga, kepercayaan sebagai cara pribadi melihat seluruh nilai dan kekuatan yang merupakan realitas paling akhir dan pasti bagi diri dan sesamanya. Di sini ditentukan mana ‘gambaran penuntun’ mengenai yang ultim yang akhirnya dapat menggerakkan dan menjadi acuan hidup kita.

Pada sisi ini muncul seperangkat etika dalam agama, serta ajaran mengenai Tuhan sebagai yang utama.

Untuk merinci isi dari kepercayaan itu, Fowler membedakan antara fides quae creditur, yaitu substansi dan isi kognisi dari hal yang dipercayai, dan fides qua creditur yakni cara kita percaya akan hal tersebut.

Dengan demikian kepercayaan selalu ada dalam dialektika antara ajaran untuk menjadi percaya dan cara/praktek menjadi percaya. Apa yang disebut percaya tidak sekedar menerima secara taken for granted tetapi belajar secara kritis melalui praksis. Sebab apa yang menjadi isi kognisi (ajaran) sesungguhnya adalah kumulasi dari apa yang dialami dalam hidup sehari-hari.

Beberapa teolog lain seperti John B. Cobb, jr, menunjukkan bahwa hal menjadi percaya baru datang pada saat manusia melakoni aktitifitas sehari-hari (dailiy activity). Maka kepercayaan juga ditentukan oleh aktifitas dan peran sosial/tanggungjawab.

C. Perkembangan Individual berdasar Teori Fowler
Keimanan agama individu berkembang dalam beberapa tahapan. Menurut James W.Fowler, tahapan-tahapan tersebut adalah sebagai berikut :

Tahap 0: Kepercayaan Elementer Awal (Primal Faith)
Tahap ini timbul sebagai Tahap 0 (nol) atau Pratahap (pre-stage, yaitu masa orok, bayi, 0 sampai 2 atau 3 tahun). Kepercayaan ini disebut juga pratahap “kepercayaan yang belum terdiferensiasi (undifferentiated faith), karena: ciri disposisi praverbal si bayi terhadap lingkungannya yang belum dirasakan dan disadari sebagai hal yang terpisah dan berbeda dari dirinya, dan daya-daya seperti kepercayaan dasar, keberanian, harapan dan cinta (serta daya-daya lawannya) belum dibedakan lewat proses pertumbuhan, melainkan masih saling tercampur satu ama lain dalam suatu keadaan kesatuan yang samar-samar. Rasa percaya elementer ini bersifat pralinguistis (sebelum tumbuh kemampuan membahasa), praverbal, dan prakonseptual.

Tahapan ini disebut “tahapan primal”. Benih iman pada kurun hidup paling dini ini terbentuk oleh “rasa percaya si anak pada orang-orang yang mengasuhnya” dan oleh “rasa aman yang dialaminya di tengah lingkungannya”. Seluruh interaksi timbal-balik antara si anak dan orang-orang di sekitarnya merupakan titik tolak bagi perkembangan imannya. Interaksi yang mendukung perkembangan iman adalah interaksi yang menumbuhkan keyakinan pada dirinya, bahwa ia adalah insan yang dicintai dan dihargai.

Tahap 1: Kepercayaan Intuitif-Proyektif (Intuitive-Projective Faith)
Tahapan ini disebut tahapan intuitif proyektif. Pola eksistensial yang intuitif-proyektif menandai tahap perkembangan pertama (umur 3-7 tahun) karena daya imajinasi dan gambaran dunia sangat berkembang. Apa yang dialami di Tahap 0 (nol) menjadi hal yang sangat berarti dalam Tahap 1. Dunia pengalaman sudah mulai disusun melalui seperangkat pengalaman inderawi dan kesan-kesan emosional yang kuat. Namun kesan-kesan itu diangkat ke dalam alam imajinasi. Walau demikian, pada tahap ini anak sudah mulai peka terhadap dunia misteri dan Tuhan serta tanda-tanda nyata kekuasaan.

Unsur terpenting pada tahapan ini ialah intuisi si anak, yang sifatnya belum rasional. Intuisi tersebut dipakainya untuk memaknai dunia di sekitarnya. Intuisi itu memungkinkannya menangkap nilai-nilai religius yang dipantulkan oleh para tokoh kunci (yakni ayah, ibu, pengasuh, paman, bibi, pemuka agama, dan sebagainya). Maka, pada tahapan ini si anak memahami atau membayangkan Tuhan sebagai Sang Tokoh yang mirip dengan ayah, ibu, pengasuh, paman, bibi, atau tokoh berpengaruh yang lain.

Pada tahapan ini, iman seorang anak diwarnai oleh rasa takut dan hormat pada tokoh-tokoh kunci itu. Anak aktif bertanya akibat pikiran bebasnya yang belum sepenuhnya terkonstruksi. Anak dipengaruhi oleh contoh, suasana hati, simbol dan tindakan orang dewasa primer. Mereka sesulitan dalam membedakan kenyataan dan fantasi.

Tahap 2: Kepercayaan Mitis-Harfiah (Mithic-Literal Faith)
Bentuk kepercayaan ini muncul sebagai tahap kedua (umur 7-12 tahun). Di sini mulai tumbuh operasi-operasi logis terhadap pengalaman imajinatif di Tahap 1. Operasi-operasi logis itu mulai bersifat konkret, dan mengarah pada adanya kategori sebab-akibat. Di sini anak berusaha mulai membedakan antara perspektifnya sendiri dan perspektif orang lain, serta memperluas pandangannya dengan mengambil alih pandangan (perspektif) orang lain. Kemampuan untuk menguji dan memeriksa perspektifnya sudah mulai tersusun baik, walau pada tingkat moral, anak belum bisa menyusun dunia batin seperti perasaan, sikap dan proses penuntun batiniah yang dimilikinya sendiri.

Tahapan ini disebut “tahapan mistis literal”. Pada tahapan ini yang paling berperan dalam perkembangan iman anak adalah kelompok atau institusi kemasyarakatan yang paling dekat dengannya, misalnya kelompok pembinaan agama, sekolah, atau kelompok sekolah berfungsi sebagai sumber pengajaran iman. Pengajaran itu paling mengena kalau disampaikan dalam bentuk kisah-kisah yang bernuansa rekaan. Tuturan pengajaran lewat kisah rekaan cenderung diterima olehnya secara harafiah. Usaha-usaha pengembangan iman anak pada tahapan ini seyogyanya tetap dilaksanakan dengan cara sederhana, tidak terlalu mengandalkan penalaran.

Tahap 3: Kepercayaan Sintetis-Konvensional (Synthetic-Conventional Faith)
Tahap ini muncul pada masa adolesen (umur 12-20 tahun). Di sini muncul kemampuan kognitif baru, yaitu operasi-operasi formal, maka remaja mulai mengambil alih pandangan pribadi rang lain menurut pola pengambilan perspektif antar-pribadi secara timbal balik. Disini sudah ada kemampuan menyusun gambaran percaya, termasuk kepada Tuhan.

Interpersonal yang ada membuat dunia ini menjadi hidup dan individu dapat berpikir tentang hipotetis untuk 'mensintesis' iman yang masih umum. Ada kelaparan yang mendalam untuk diterima oleh orang-orang disekitarnya. Tapi ide yang ditampilkan tersebut belum tentu kritis, diperiksa atau direnungkan.

Tahap 4: Kepercayaan Individuatif-Reflektif (Individuative-Reflective Faith)
Tahap ini muncul pada umur 20 tahun ke atas (awal masa dewasa). Pola ini ditandai oleh lahirnya refleksi kritis atas seluruh pendapat, keyakinan, dan nilai (religius) lama. Pribadi sudah mampu melihat diri sendiri dan orang lain sebagai bagian dari suatu sistem kemasyarakatan, tetapi juga yakin bahwa dia sendirilah yang memikul tanggungjawab atas penentuan pilihan ideologis dan gaya hidup yang membuka jalan baginya untuk mengikatkan diri dengan cara menunjukkan kesetiaan pada seluruh hubungan dan pangilan tugas.

Disebut ‘individuatif’ karena baru saat inilah manusia tidak semata-mata bergantung pada orang lain, tetapi dengan kesanggupannya sendiri mampu mengadakan dialog antara berbagai diri; sebagaimana dilihat dan dipantulkan orang-orang dengan ‘diri sejati’ yang hanya dikenal oleh pribadi yang bersangkutan itu sendiri. Manusia mengalami dirinya sebagai yang khas, unik, aktif, kritis, kreatif penuh daya.

Ada dua perubahan utama dalam tahap ini: Individuasi dan refleksi kritis. Siri sendiri dibedakan dari grup. Independen identitas terbentuk sebagai cerminan terjadi dan kritis memilih kepercayaan sendiri, nilai-nilai dan komitmen.

Tahap 5: Kepercayaan Eksistensial Konjungtif (Conjunctive Faith)
Kepercayaan eksistensial konjungtif timbul pada masa usia pertengahan (sekitar umur 35 tahun ke atas). Tahap ini ditandai oleh suatu keterbukaan dan perhatian baru terhadap adanya polaritas, ketegangan, paradoks, dan ambiguitas dalam kodrat kebenaran diri dan hidupnya. Kebenaran hanya akan dicapai melalui dialektika, karena sadar bahwa manusia memerlukan suatu tafsiran yang majemuk. Di sini beragama dan kepercayaan juga dibayang-bayangi oleh simbol, metafora, cerita, mitos, dan lain-lain yang memerlukan penafsiran kembali.

Tahap ini melibatkan kemampuan untuk terus bersama sebagai cara untuk mengungkapkan suatu kesadaran baru bahwa kebenaran lebih beragam dan kompleks disbanding yang sebelumnya diyakini. Ada kekhawatiran bahwa dialog dan keterbukaan berprinsip untuk cara-cara baru dalam memandang sesuatu. Sebuah pengakuan keterbatasan tradisi memungkinkan seseorang untuk menjadi wali, sementara tradisi menghindari over-akomodasi di satu sisi dan proteksi steril di sisi lain.

Tahap 6: Kepercayaan Eksistensial yang Mengacu pada Universalitas (Universalizing Faith)
Kepercayaan ini berkembang pada umur 45 tahun ke atas. Individu melampaui tingkatan paradoks dan polaritas, karena gaya hidupnya langsung berakar pada kesatuan dengan Tuhan, yaitu pusat nilai, kekuasaan dan keterlibatan yang terdalam. Individu sudah berhasil melepaskan diri (kenosis) dari egonya dan dari pandangan bahwa ego adalah pusat, titik acuan, dan tolok ukur kehidupan yang mutlak. Perjuangan akan kebenaran, keadilan, dan kesatuan sejati berdasarkan semangat cinta universal ini secara antisipatif menjelmakan daya dan dinamika Tuhan sebagai persekutuan cinta dan kesetiakawanan antara segala sesuatu yang ada.

Ada rasa keutuhan dan keinginan untuk bertindak berdasarkan apa yang baik bagi semua orang di mana pun. Mereka memiliki mimpi dan akan bertindak dengan komitmen yang mendalam, seringkali juga dengan biaya pribadi. Iman dan visi moral menjadi lebih universal.

D. Aplikasi Teori Fowler
Dalam aplikasinya, perkembangan iman individu biasanya berlangsung dalam konteks atau ruang lingkup yang diwarnai oleh beberapa hal berikut, yaitu :

· Teladan tokoh-tokoh identifikasi
Iman biasanya tumbuh saat mengamati dan mengikuti tokoh-tokoh identifikasi, secara spontan dan belum terlalu disadari. Tokoh-tokoh identifikasi tersebut adalah orang-orang dewasa yang terpenting dan terdekat, yakni orangtua. Sikap dan perilaku mengacu pada sikap atau perilaku dari orang-orang dewasa yang dihormati, tokoh-tokoh panutan.

Kemampuan seorang anak untuk memahami sesuatu secara abstrak biasanya masih sangat terbatas. Ia lebih mampu memahami sesuatu dengan melihat contoh-contoh yang konkrit dan cenderung mengikuti contoh-contoh tersebut. Maka, sejak usia dini, para anggota keluarga perlu saling membantu dalam memupuk iman.

· Suasana
Yang dimaksud dengan suasana adalah keadaan dari suatu tempat. Suasana itu sulit dirumuskan, tetapi mudah dirasakan atau dialami. Misalnya, pengaruh suasana rumah sangatlah besar, apalagi bila hal itu dialaminya selama bertahun-tahun. Suasana lingkungan sekitar individu mempengaruhi pola pikir individu itu sendiri, termasuk perkembangan keimanannya.

· Pengajaran
Keteladanan kadang-kadang bersifat agak tersembunyi. Maka keteladanan itu sebaiknya juga diperkuat dengan pengajaran, yang disesuaikan dengan kebutuhan dan daya tangkap individu sesuai tingkatan usia dan tahapan-tahapan perkembangan kepribadiannya.

· Komunikasi
Komunikasi antara semua anggota keluarga merupakan faktor pendukung perkembangan iman yang tak tergantikan. Memang, hal-hal yang di-komunikasikan tidak perlu selalu langsung mengenai iman. Meskipun demikian, isi komunikasi itu sebaiknya dapat memperluas wawasan iman dan menjadi sumber inspirasi iman. Sementara itu, bentuk-bentuk komunikasi sangat dipengaruhi oleh faktor budaya, misalnya : kebiasaan berterus-terang atau sembunyi-sembunyi, kebebasan berpikir atau ketaatan buta. Proses globalisasi sekarang ini membuka kemungkinan munculnya bentuk-bentuk komunikasi yang baru.

Seorang remaja belasan tahun tentunya akan berbeda dengan orang dewasa dalam menyikapi iman yang ada dalam dirinya. Orang dewasa lebih memiliki kesadaran yang tinggi, sehingga tidak heran jika kita menemukan orang dewasa yang begitu taat beragama, padahal di masa mudanya ia adalah seorang yang acuh tak acuh. Namun tidak menutupi pula, pada usia yang lebih dini, sebelum dikatakan dewasa sepenuhnya, seorang individu sudah berkembang lebih cepat dalam pemahaman imannya.

Dalam kehidupan, tahapan-tahapan perkembangan iman tersebut perlu diperhatikan dalam melakukan pendidikan agama, setidaknya bagi diri sendiri. Dengan mengetahui tahapan-tahapan tersebut, hal tersebut akan mempermudah kita dalam memahami perkembangan iman yang terjadi pada diri sendiri. Apabila terjadi hambatan pada tahap tersebut, kita akan mampu mencari solusinya, meskipun bisa saja dengan campur tangan orang lain.

Posting Komentar

0 Komentar