Peranannya Dalam Mewujudkan Good Governance
Akhir-akhir ini tampil dalam berita-berita fenomenal yang mengungkap kasus-kasus korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan yang terjadi baik di lingkungan birokrasi pemerintah, lembaga legislatif, lembaga-lembaga penegak hukum. Berita terakhir adalah kasus Gayus Tambunan yang sungguh sangat fenomenal sebagai pegawai negeri gol. III/a memiliki kekayaan milyaran rupiah yang diduga hasil korupsi di lingkungan di Direktorat Jenderal pajak. Selanjutnya kasus Gayus ini melebar serta melibatkan oknum penegak hukum dari kepolisian, jaksa, hakim dan terakhir melibatkan pihak imigrasi dalam masalah pembuatan paspor asli tapi palsu.
Berbagai kasus yang terungkap dan yang disinyalir sebagai bentuk penyalahgunaan kekuasaan seperti issue tentang penerimaaan CPNS umpamanya, mengindikasikan terabaikannya norma-norma etika dalam birokrasi pemerintahan kita. Masalah etika dalam administrasi publik menunjukkan kurangmya perhatian atau dikesampingkannya etika dalam praktek penyelenggaraan administrai publik. Padahal etika merupakan salah satu unsur yang penting yang menentukan keberhasilan pelaksanaan kegiatan organisasi dan aktor administrrasi publik Sebabnya ialah, karena nilai nilai moral itu terdapat dalam seluruh proses kegiatan administrasi publik. Mulai dari rancangan struktur organisasi, perumusan kebijakan, implementasi dan evaluasi kebijakan serta pelaksanaan pelayanan publik sarat dengan nilai-nilai etis.
Konsep Etika Administrasi Publik
Istilah “Etika”, berasal dati kata Yunani ethos yang berarti “sifat” atau “adat” dan kata jadian “ta ethika” yang dipakai filsuf Plato dan Aristoteles (384 - 322 SM) untuk menerangkan studi mereka tentang nilai-nilai dan cita-cita Yunani. Jadi pertama-tama, etika adalah masalah sifat pribadi yang meliputi apa yang kita sebut “menjadi orang baik”, tetapi juga merupakan masalah sifat keseluruhan segenap masyarakat yang disebut “ethos”nya. (Robert Solomon, l987:5)
Menurut Bertens (2001: 6) berdasarkan penjelasan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (l988) dikemukakan tiga arti dari kata etika sebagai berikut. Pertama, kata “etika “ dipakai dalam arti : nilai-nlai dan norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Kedua, etika sebagai kumpulan asas atau nilai moral , yaitu sebagai kode etik. Ketiga, istilah “Etika” digunakan untuk menunjuk bidang ilmu, yaitu pengkajian secara reflektif tentang nilai-nilai moral dalam masyarakat dengan penelitian sistematis dan metodis. Dalam arti ini, maka etika adalah sebagai cabang filsafat yang menjadikan moralitas sebagai kajiannya atau disebut filsafat moral.
Berdasar pembahasan di atas, maka penggunanaan istilah etika administrasi publik bermakna ganda. Istilah itu dapat mengacu sebagai bidang studi yaitu ilmu pengetahuan yang membahas prinsip-prinsip etis (moral) yang mendasari tindakan para aparat birokrasi pemerintahan khususnya dalam menjalankan tugas dan wewenangnya. Di samping itu terdapat pengertian tentang etika administrasi publik sebagai “seperangkat nilai yang menjadi acuan atau penuntun bagi tindakan manusia dalam organisasi “ sebagaimana dikemukakan antara lain oleh Darwin (l999) dalam Widodo (2001:252). Selanjutnya Widodo dengan mengacu pada pendapat Bertens (l977) dan Darwin (l999) tentang pengertian etika manarik kesimpulan bahwa etika (termasuk etika birokrasi) mempunyai dua fungsi. Pertama, sebagai pedoman, acuan, referensi bagi administrasi negara (birokrasi publik) dalam menjalankan tugas dan kewenangannya agar tidakannya dalam organisasi tadi dinilai baik, terpuji, dan tidak tercela.
Kedua, etika birokrasi (Administrasi Publik) sebagai standar penilaian apakah sifat, perilaku dan tindakan birokrasi publik (Administrasi Publik) dinilai baik, tidak tercela dan terpuji.
Arti Penting Etika Administrasi Publik
Arti penting Etika Administrasi Publik digambarkan oleh Ginandjar Kartasasmita (l996: 26-7) secara lebih konkrit. Masalah etika dalam birokrasi menjadi keprihatinan (concern ) yang sangat besar, karena perilaku birokrasi mempengaruhi bukan hanya dirinya; tetapi masyarakat banyak. Di samping itu birokrasi bekerja atas dasar kepercayaan, karena seorang birokrat bekerja untuk negara dan berarti juga untuk rakyat. Jadi wajar jika rakyat mengharap adanya jaminan bahwa para birokrat yang dibiayai oleh negara harus mengabdi kepada kepentingan umum menurut standar etika yang selaras dengan kedudukannya. Di samping itu tumbuh keprihatinan bukan saja terhadap individu-individu para birokrat tetapi juga terhadap organisasi sebagai sebuah sistem yang cenderung bertambah besar dan bertambah luas kewenangannya yang cenderung mengesampingkan nilai-nilai.
Nicholas Henry (l980) dalam Wahyudi Kumoro (l996: 102-3) menguraikan adanya 5 paradigma dalam administrasi publik dan sebagian besar perbedaan paradigma itu berkisar perlu tidaknya pemisahan antara ilmu politik dan administrasi. Menurut Henry, paradigma terakhir dari administrasi publik adalah bahwa lokus administrasi publik mengenai kepentingan publik (public interest) dan urusan publik (publik affairs), sedangkan fokusnya adalah teori organisasi dan ilmu managemen. Dalam paradigma ini dihindari dikotomi politik administrasi, sebab dalam kenyataannya seorang birokrat atau adinistrator tidak bisa menghindar dari tindakan politis.
Aktivitas politik dari birokrat tampak dari adanya keleluasaan bertindak (diskresi) administratif yang dimiliknya. Sementara aktivitas administrasi tampak dari segala perilakunya untuk mmerencanakan, memilih alternatif, mengorganisasi, mengelola, memantau, mengevaluasi, melaksanakan, serta melakukan implementasi atas program-program di dalam lingkup birokrasi. Untuk itu dia perlu membekali diri dengan ilmu manajemen serta landasan pemahaman mengenai teori organisasi yang kuat. Dengan demikian proses administrasi negara merupakan proses yang rumit.
Bukan saja berkaitan dengan aktivitas-aktivitas tehnis berlandaskan ilmu manajemen untuk mencapai efisiensi yang tinggi melainkan juga aktivitasaktivitas politis yang berusaha menafsirkan kehendak publik dan menterjemahkannya dalam kebijakan nyata. Kebijakan sebagai keseluruhan gagasan mengenai tujuan dan arah tindakan manusia dalam organisasi. Kebijakan menentukan norma dan mengatur admnistrasi publik pada tingkat strategis.
Dari segi materi atau isi, administrasi publik berarti melakukan kebijakan publik yakni menetapkan dan melaksanakan kebijakan yang mempunyai pengaruh terhadap masyarakat umum. Dari segi formal atau bentuk, administrasi publik adalah pengambilan keputusan-keputusan yang mengikat orang banyak. Sedangkan dari segi sosiologis, administrasi publik merupakan bentuk tindakan sosial tertentu yang diorganisir atau tepatnya serangkaian proses tindakan sosial yang berlangsung dan dibakukan dalam priode tertentu.
Dengan demikian, dalam praktek administrasi negara merupakan rangkaian pengambilan kebijakan yang menghasilkan norma-norma formal, aturan-aturan, serta keharusankeharusan bagi tindakan sosial. Proses itu tentunya akan menunjang tertib sosial hanya apabila ia merujuk kepada rasa kebenaran dan keadilan dari warga masyarakatnya. Dengan demikian setiap aktivitas administrasi publik akan selalu punya konsekwensi nilai. Sebagai kesimpulan yang dapat ditarik adalah bahwa proses administrasi publik senantiasa menuntut tanggung jawab etis
Tata Kepemerintahan Yang Baik (Good Governance)
Wacana “kepemerintahan yang baik” (good governance) dalam decade terakhir abad 20 , semakin mengggema dalam kehidupan negara bangsa di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Untuk memahami konsep tersebut perlu dipahami perbedaan pengertian government dan governance.
Konsep “government” menunjuk pada suatu organisasi pengelolaan berdasarkan kewenangan tertinggi negara dan pemerintah. Konsep “governance” melibatkan tidak hanya pemerintah dan negara, tapi juga peran berbagai aktor di luar pemerintah dan negara sehingga pihak-pihak yang terlibat juga sangat luas (GanieRohman, 2000:l4l dalam Widodo ( 2001: l8) Timbulnya gerakan reformasi nasional dipenghujung abad 20 sebagai koreksi atas kekeliruan masa lalu, memerlukan perubahan dan pembaharuan dalam system dan proses penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan yang berusaha untuk mewujudkan nilai-nilai dan prinsip good governance tersebut (Mustopadidjaja, 2003: l).
Hal itu menunjukkan adanya pergeseran paradigma dalam penyelenggaraan pemerintahan negara dan pembangunan. Perubahan paradigma ini menggeser orientasi manajemen pemerintahan dari aspek pemerintahan (goverment) beralih kepada aspek tata kepemerintahan (governance). EROPA (Easter Regional Organization for Public Administration) bersama UNDP (United Nations Development Programme) ketika menyelenggarakan General Assembly Meeting di Manila tahun 1998 menslogankan perubahan paradigma from goverment to governance Menurut Miftah Thoha (2004: 54), “ilmu administrasi publik merupakan suatu kajian yang sistematis dan tidak hanya sekedar lukisan abstrak akan tetapi memuat perencanaan realitas dari segala upaya dalam menata kepemerintahan yang baik (good governance)” Rumusan tersebut dapat dirumuskan secara sederhana, bahwa ilmu admintrasi publik bukan hanya bersifat deskriptif tapi juga bersifat preskriprtif. Preskriptif bukan hanya secara normatif tetapi dalam arti perencanaan kedepan, harapan-harapan yang dapat diprediksi untuk dapat diwujudkan dalam masyarakat yang diidamkan. Terselenggaranya pemerintahan yang bersih, dan baik (clean and good governance) menjadi harapan dan cita-cita setiap bangsa. Oleh karena itu mewujudkan cita-cita tersebut termasuk tugas dari ilmu adminitrasi public
Karakteristik Tata Pemerintahan Yang Baik
United Nations Development Programme (l997:9) dalam Widodo (200l:l9) mengemukakan “ governance is defined as the exercise of political, economic, and administrative authority to manage a nation’s affairs”.
Kepemerintahan diartikan sebagai pelaksanaan kewenangan politik, ekonomi, dan administratif untuk memanage urusan-urusan bangsa. Lebih lanjut UNDP menegaskan “it is the complekx mechanisms, process, relationships and institutions through which citizens and groups articulate their differences” Kepemerintahan adalah suatu institusi, mekanisme, proses, dan hubungan yang kompleks melalui warga negara dan kelompok kelompok yang mengartikulasikan kepentingannya, melaksanakan hak dan kewajibannya dan menengahi atau memfasilitasi perbedaan-perbedaandi antara mereka.
Pengertian Governance menurut UNDP terdiri dari tiga unsur yaitu: the state, the private sector dan civil society organizations. Istilah governance menunjukkan suatu proses di mana rakyat bisa mengatur ekonominya.
Institusi dan sumber-sumber social dan politiknya tidak hanya digunakan untuk pembangunan, tetapi juga untuk menciptakan kohesi, integrasi, dan untuk kesejahteraan rakyat. Dengan demikian, kemampuan suatu negara mencapai tujuan-tujuan pembangunan itu sangat tergantung pada kualitas tata kepemerintahannya dalam melakukan interaksi dengan organisasi-organisasi komersial dan civil society..Hubungan tiga komponen tata keperintahan yang baik yaitu pemerintah (government), rakyat (citizen) dan usahawan (business)yang sama dan sederajat serta saling control dalam hubungan yang saling bersinergi.
Menurut Mustopadidjaja (2003:51) upaya untuk mewujudkan good governance hanya dapat dilakukan apabila terjadi keseimbangan (alligment) peran-peran kekuasaan yang dimainkan oleh setiap unsur yang ada dalam governance.State, sebagai unsur pertama , memainkan peran menciptakan lingkungan politik dan hukum yang kondusif bagi unsur-unsur lain dalam governance. Private sector unsur kedua, menciptakan lapangan kerja dan pendapatan. Dan, society, unsur ketiga, berperan menciptakan interaksi social, ekonomi dan politik. Keseimbangan ketiga unsur governance tersebut digambarkan sebagai berikut:
Sektor Publik (Pemerintah) memiliki fungsi dalam menciptakan hukum dan lingkungan politis yang kondusif dalam pembangunan negara; dengan berkembang interaksi ABC. Masyarakat berperan aktif dan positif dalam seluruh aktivitas kehidupan bernegara yang berkaitan langsung dengan kepentangan warga masyarakat; dengan berkembang interaksi ACD Sektor bisnis mempunyai peran dalam menciptakan peluang kerja dan pendapatan bagi masyarakat; denganberkembang interaksi BCD.
United Nations Development Programme (UNDP) sebagaimana dikutip LAN (2000:7) dalam Widodo (2001: 25) mengemukakan karakteristik good governance, sebagai berikut:
1. Partipation . Setiap warga negara mempunyai suara dalam pembuatan keputusan, baik secara langsung maupun melalui intermediasi institusi legitimasi yang mewakili kepentingannya. Partisipaasi seperti ini dibangun atas dasar kebebasan berasosiasi dan berbicara serta berpartisipasi secara konstruktif.
2. Rule of law. Kerangka hukum harus adil dan dilaksanakan tanpa pandang bulu, terutama hukum untuk hak asasi manusia.
3. Transparancy. Transparansi dibangun atas dasar kebebasan arus informasi. Proses-proses, lembaga-lembaga dan informasi secara langsung dapat diterima oleh mereka yang membutuhkan. Informasi harus dapat dipahami dan dapat dimonitor.
4. responsiveness. Lembaga-lembaga dan proses-proses harus mencoba untuk melayani setiap “stakeholders”
5. Consensus orientation. Good governance menjadi perantara kepentingan yang berbeda untuk memperoleh pilihan-pilihan terbaik bagi kepentingan yang lebih luas baik dalam hal kebijakan-kebijakan maupun prosedur-prosedur.
6. Equity. Semua warga negara, baik laki-laki maupun perempuan, mempunyai kesempatan untuk meningkatkan atau menjaga kesejahteraan mereka.
7. Effectiveness and efficiency. Proses-proses dan lembaga-lembaga sebaik mungkin menghasilkan sesuai dengan apa yang digariskan dengan menggunakan sumber-sumber yang tersedia.
8. Accountability. Para pembuat keputusan dalam pemerintahan, sektor swasta dan masyarakat (civil society) bertanggung jawab kepada publik dan lembaga-lembaga “stakeholders”. Akuntabilitas ini tergantung pada organisasi dan sifat keputusan yang dibuat,apakah keputusan tersebut untuk kepentingan internal atau eksternal organisasi.
9. Strategic vision. Para pemimpin dan publik harus mempunyai perspektif good governance dan pengembangan manusia yang luas dan jauh ke depan sejalan dengan apa yang diperlukan untuk pembangunan semacam ini.
0 Komentar