Perkembangan Global Dan Perkembangan Teori Msdm
Perkembangan global telah menggeser orientasi pemikiran teori Manajemen Sumber Daya Manusia di banyak negara maju. Walaupun tidak persis sama, pemikiran teori manajemen sumber daya manusia mengikuti atau ada korelasinya dengan perkembangan teori manajemen secara umum. Artinya secara relatif ada hubungan antara Generasi Manajemen dengan Generasi Manajemen Sumber Daya Manusia. Mana yang lebih dulu lahir, persis seperti mempersoalkan telur dengan ayam. Namun demikian kita bisa menelusurinya dengan merujuk pada kasus-kasus yang berkembang di sekitarnya.
Secara garis besar perkembangan Generasi Manajemen Sumber Daya Manusia dapat dirinci sebagai berikut (Amin Ibrahim, 2003) :
1 Generasi Manajemen Sumber Daya Manusia I (1800 – 1900 an), disebut sebagai masa Pre Personel Management (Pra Manajemen Personal) :
Ciri-ciri: (1) Man Machine (manusia sebagai faktor produksi); (2) Owner Managerspemilik sekaligus pengelola); (3) Besarnya dominasi keluarga; (4) Buruh/pekerja “di tempat gelap”.
1 Generasi Manajemen Sumber Daya Manusia II (1910 – 1950 an), disebut sebagai masa Personel Management (Manajemen Personal) :
Ciri-ciri: (1) Neurophysilogical Machine (Mesin berperan penting); (2) Konsep kontribusi buruh/karyawan terhadap produksi dan penghargaan terhadap keterampilan; (3) Buruh/pekerja sebagai bagian “biaya produksi”; (4) Berpuncak pada organisasi-organisasi divisional dan penerapan analisis jabatan (job analysis).
2 Generasi Manajemen Sumber Daya Manusia III (1970 – 1990 an), disebut sebagai masa Human Resourcess Management (Manajemen SDM):
Ciri-ciri: (1) Pendekatan psikologis; (2) Manusia/buruh bukan faktor produksi, tetapi sumber daya bagi perusahaan/organisasi; (3) Posisi pengelola SDM cukup terhormat/signifikan; (4) Perilaku dan motivasi kerja merupakan isu penting; (5) Fokus pengembangan karyawan; (6) Dari pelatihan manajemen jangka pendek (skill training) menjadi pelatihan pengembangan manajerial; (7) Kebutuhan SDM sesuai pertumbuhan/ekspansi perusahaan/ organisasi (Markov Model); (8) Era pembagian tugas (job description).
3 Generasi Manajemen Sumber Daya Manusia IV (1990 an), disebut sebagai masa Strategic Human Resourcess Management (Manajemen SDM Strategi):
Ciri-ciri: (1) Strategic Corporate Planing (perencanaan strategis organisasi); (2) Pendekatan stake holders karyawan/internal dan eksternal yang berpengaruh terhadap organisasi; (4) Pola pikir stratejik dalam mengelola SDM; (5) Pengelola SDM adalah fungsi stratejik; (6) Perkembangan kemampuan/daya saing perusahaan/organisasi tergantung perkembangan kemampuan dan daya saing SDM; (7) Pentingnya pendidikan daripada pelatihan; (8) Pembagian peran (job role) dan kerja sama.
4 Generasi Manajemen Sumber Daya Manusia V (Akhir 1990 an), disebut sebagai masa Brainwer Management (Manajemen Perangkat Otak) :
Ciri-ciri: (1) SDM sebagai sumber daya saing perusahaan/organisasi dengan melihat kemampuan otaknya; (2) Harus mampu mengembangkan strategi/prinsip “bagaimana belajar dengan baik dan terus menerus”. (3) Penggabungan kemampuan: mind-body-emotionssebagai satu kesatuan (penggabungan The Whole Brain Management/TBM dan Technology Neuro Linguistic Programming/TNLP dan Emotional Intelegence/EI sebagai sistem (holistic medecine approach); (4) Kualitas individu dinilai dalam jaringan.
Dalam kenyataanya, seperti halnya Generasi Manajemen, Generasi Manajemen Sumber Daya Manusia tidaklah jelas batas-batasnya karena perkembangan terapannya sangat ditentukan kondisi lingkungan. Dapat saja di suatu negara diterapkan suatu Model Generasi Manajemen Sumber Daya Manusia tertentu, tetapi di negara lain belum tentu tepat digunakan. Hal ini akan lebih bervarisi lagi pada dunia bisnis atau swasta yang memang agak beraneka ragam tingkat kemajuannya, melebihi keragaman negara-negara.
TANTANGAN SDM KARENA PERUBAHAN LINGKUNGAN
Dewasa ini, bangsa Indonesia dirasakan sangat memiliki ketertinggalan dalam hal sumber daya manusia jika dibandingkan dengan negara lain. Banyak bukti yang menunjukkan rendahnya kualitas sumber daya manusia Indonesia. Misalnya laporan UNDP tahun 1998 sebagai badan PBB yang menangani program pembangunan sebagaimana dilaporkan Payman J. Simanjuntak (1999), bahwa tingkat kualitas SDM di Indonesia ternyata berada pada peringkat ke 96 dari 174 negara di dunia. Jika dibandingkan dengan negara-negara Asean lainya seperti Singapura (28), Brunei (35), Thailand (59) dan Malaysia (60) maka prestasi Indonesia telah jauh tertinggal.
Berkaitan dengan realitas di atas, Wardiman Djojonegoro (Suwatno, 2002; Yuli Setiono, 1997) melihat lebih jauh tentang sumber daya manusia Indonesia ini, diantaranya: (1) Kualitas SDM Indonesia relatif tertinggal dibanding negara-negara tetangga dalam percaturan pasar global. (2) Indonesia saat ini mengalami proses pergeseran struktur masyarakat, dari masyarakt tradisional menuju masyarakat modern. Pergeseran struktur masyarakat mau tidak mau menimbulkan berbagai perubahan mendasar di berbagai bidang kehidupan masyarakat.Atas dasar ini, maka tantangan kedua bagi bangsa Indonesia adalah melakukan kajian secara menyeluruh terhadap terjadinya perubahan tersebut dan bagaimana implikasinya terhdap upaya pengembangan SDM. (3) Indonesia masih lemah dalam menghasilkan karya-karya bermutu sebagai hasil dari penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal ini diakibatkan oleh gejala yang disebut imperialisme penguasaan iptek (science and technology imperialism).
Indonesia sebenarnya memiliki potensi untuk menjadi negeri yang sejahtera (welfare state), mengingat bangsa ini kaya akan sumber alam dan kaya jenis etnis dengan kultur masyarakatnya yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Tetapi kenyataannya masih jauh dari harapan, kondisi tanah air kita masih carut marut terutama beberapa tahun belakangan ini. Bahkan ada analisa yang mengatakan bahwa proses perubahan akan berjalan lama karena Indonesia memiliki banyak kemajemukan dalam segala hal, dan baru akan dirasakan oleh dua generasi setelah kita. Inilah yang menarik, sehingga memunculkan pertanyaan, haruskah selama itu kita menunggu, atau kapan Indonesia akan menjadi sebuah negara besar yang dapat mewujudkan tujuan yang diamanatkan dalam pembukaan UUD 1945. Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tadi tidaklah pasti, tetapi yang jelas agar bisa meraih tujuan nasional dan terutama keluar dari keterpurukan yang sedang dialami, Indonesia perlu merlakukan reformasi secara total, baik menyangkut proses, prosedur, content (nilai), struktur (kelembagaan), dan behavior.
Dampak globalisasi terhadap organisasi dan manajemen lokal
Bisakah Indonesia tidak ikut dalam proses globalisasi? Walaupun bisa menolak, namun tidaklah mudah, karena globalisasi merupakan sebuah kenyataan yang tidak bisa dihindarkan, apalagi negara kita sudah terbelit utang dan juga masih memerlukan pinjaman dari negara-negara yang nota bene tergabung dalam WTO, di mana kita juga menjadi anggotanya.
Bercermin pada negara lain, maka para “policymakers”, pendidik, bisnis, dan industri harus sangat peduli pada era yang penuh persaingan ini. Misalnya, Amerika Serikat dalam tujuan pendidikan nasionalnya secara eksplisit menyebutkan bahwa mereka harus mempersiapkan bangsanya untuk menjadi pekerja yang produktif dan senantiasa belajar guna menghadapi ekonomi global.Pendidikan difokuskan pada upaya membantu rakyat memahami hubungan pendidikan dengan dunia kerja dan memperoleh ketrampilan yang bisa dipakai di dunia kerja. Mereka diberi informasi tentang apa itu ekonomi global, dan ketrampilan apa yang dibutuhkan agar mereka bisa berpartisipasi di dalamnya.
Bagaimana daya tahan hidup bisnis lokal dalam ekonomi global, sangat tergantung pada kinerja organisasinya. Organisasi harus kompetitif atau mampu bersaing. Organisasi yang kompetitif dicirikan oleh produktivitas, fleksibilitas, kecepatan, kualitas yang memadai, dan berfokus pada pelanggan. Tuntutan agar perusahaan harus lebih kompetitif telah menggiring perusahaan untuk melakukan perubahan dalam cara pengorganisasian dan pengelolaan perusahaan. Beberapa cara yang telah dilakukan oleh perusahan-perusahan yang cukup ternama antara lain adalah :
a. Pengubahan struktur organisasi
Bentuk organisasi tradisional yang piramid tampaknya sudah bukan zamannya lagi. Dalam perusahaan AT&T, cara baru pengorganisasian ditekankan pada team yang bekerja antar fungsi melalui komunikasi antar departemen. Mereka mulai tidak menekankan pada rantai komando yang terlampau ketat dalam mengambil keputusan. Di GE, Jack Welch menerapkan “boundaryless organization”, di mana pegawai tidak mengidentifikasi dirinya dengan satu departemen yang terpisah, melainkan harus berinteraksi dengan siapa saja dalam menyelesaikan pekerjaannya.
b. Pemberdayaan Pegawai
Berbagai pakar beranggapan bahwa organisasi masa kini harus meletakan pelanggan di atas segalanya, dan menekankan bahwa setiap gerak yang dilakukan perusahaan harus mengarah pada pemuasan kebutuhan pelanggan. Oleh karena itu perusahaan harus memberdayakan pegawai, khususnya yang berada di garis depan.
c. Organisasi yang datar makin menjadi norma umum
Sebagai pengganti organisasi piramid yang terdiri atas 7, 10, atau lebih lapisan manajerial, disusun organisasi yang cenderung datar dengan lapisan manajerial sekitar 3 atau empat lapis saja.
d. Kerja semakin dirancang dalam bentuk “teams”, ketimbang terspesialisasi dalam satu fungsi saja
Di pabrik seorang pekerja tidak hanya melakukan satu jenis pekerjaan secara berulang-ulang. Dia lebih merupakan bagian dari tim kerja yang multifungsi.
e. Landasan kekuatan perusahaan berubah
Dalam organisasi ekonomi global, posisi, jabatan, dan kewenangan, bukan lagi menjadi alat yang memadai bagi manajer untuk bisa menyelesaikan pekerjaan. Sebagai penggantinya adalah “gagasan-gagasan yang baik”
f. Manajer masa kini harus mampu membangun komitmen
Membangun organisasi yang lebih baik, lebih besar, lebih kompetitif, artinya mendatangkan pegawai-pegawai yang mempunyai komitmen dan mampu mengendalikan diri.
g. Orientasi pada “human-capital”
Manusia sebagai unsur penentu keberhasilan organisasi senantiasa harus menjadi pokok perhatian utama. Mulai dari manajer tingkat teratas sampai dengan pegawai tingkat terbawah harus berkualitas, akhli. “Pecundang dalam globalisasi adalah mereka yang tidak meningkatkan keakhlian mereka. Mereka akan semakin hancur”. Demikian kata Hemmer.
Pandangan atau Sikap Manajer Terhadap Perkembangan Internasional
Tentu saja, ekonomi global ini memberikan tantangan bagi para manajer yang semula hanya beroperasi secara nasional saja. Mereka menghadapi sistem-sistem hukum dan politik, situasi ekonomi, dan kebijaksanaan perpajakan yang berbeda. Tetapi, mereka juga harus bisa mengerti dan mengikuti berbagai kultur nasional, yaitu nilai-nilai penting yang dipraktikkan, yang memberikan kekhususan kepada negara-negara yang berangkutan, yang dinegaranya sendiri mungkin tidak pernah dialami sepanjang hidup. Hal seperti inilah yang sering menimbulkan kesulitan bagi para manajer multinasional. Sikap manajerial para manajer global, menurut Pelmutter (1969) dibagi menjadi tiga, yaitu:
1. Sikap ETNOSENTRIS (home country-oriented – orientasi negara asal)
Merupakan pandangan parokialistis yang meyakini bahwa cara kerja dan pendekatan dalam menyelesaikan pekerjaan di negaranyalah yang terbaik dan bahwa orang lain di luar negaranya tidak sekompeten orang dari negaranya dalam membuat keputusan atau dalam hal teknologi.
2. Sikap POLYSENTRIS (host country-oriented – orientasi negara tuan rumah)
Meyakini bahwa manajer negara asinglah yang paling tahu pendekatan dan praktek kerja terbaik sehingga karyawan asing diberi kebebasan untuk membuat keputusan.
3. Sikap GEOSENTRIS (world oriented – orientasi global)
Tidak membeda-bedakan negara asal karyawan. Yang dicari adalah pendekatan dan SDM terbaik bagi perusahaan.
Terdapat sebuah perspektif dalam memandang dunia yang sangat sempit yaitu Parochialism, sebuah pandangan sempit seorang manajer yang kurang mampu untuk mengenali adanya perbedaan-perbedaan diantara sesama manusia, dimana melihat dunia dari sudut pandang dirinya saja, tidak mau mengakui bahwa orang lain hidup dan bekerja dengan cara yang berbeda, hal ini dapat menjadi hambatan besar bagi manajer yang berorientasi global.
Ethnocentric views, yaitu keyakinan bahwa nilai kultur dan kebiasaan suatu bangsa itu lebih baik dari bangsa-bangsa lainnya, sering menghinggapi sebagian besar manajer Amerika Serikat. Sebagai contoh, mereka hanya mau berbahasa Inggris karena merasa pasar domestiknya sudah sangat besar. Karena perasaan superior tersebut, orang-orang lain dari negara manapun “diwajibkan” berbahasa Inggris bila ingin berhubungan dengan mereka.
Parochialism dan ethnocentric yang menghinggapi mereka ini tidak begitu negatif akibatnya pada masa sesudah Perang Dunia II, ketika Amerika Serikat masih menguasai 75% dari pendapatan kotor dunia. Tetapi, sekarang sikap serupa itu bisa merupakan ancaman karena perusahaan-perusahaan Amerika Serikat hanya mampu menguasai sekitar 22% dari GNP dunia (Boyacigiller & Adler, 1991).
Jadi, penting untuk dicamkan bahwa dunia ini tidak lagi didominasi oleh kekuatan ekonomi Amerika Serikat. Kalau ingin memperoleh keuntungan penuh dari berbagai kesempatan baru dalam ekonomi global, para manajer Amerika Serikat harus dapat membuang jauh sikap-sikap tersebut.
Tinjauan Investor Asing di Amerika
Para pemodal asing sekarang ini sudah megontrol lebih dari 12% dari semua aset perusahaan-perusahaan Amerika Serikat dan memperkerjakan lebih dari tiga juta tenaga kerja Amerika (Mc Whirter, 1989). Tetapi, mereka juga membuat kekeliruan yang sama seperti yang dilakukan para eksekutif Amerika diluar negri. Sebelumnya, para tenaga kerja Amerika ini merasa lebih stabil dan aman. Tetapi, ketika para pemilik baru ini mengambil alih perusahaan Amerika Serikat dengan cara manajemen yang berbeda, mereka merasa terancam dengan ketidakpastian, yang sering tidak diperhatikan oleh para manajer asing. Para manajer asing dari Eropa maupun Asia masih diskriminatif, meskipun terselubung, terhadap tenaga kerja wanita.
Banyak tenaga kerja Amerika mengeluh dengan kebiasaan-kebiasaan tradisional perusahaan-perusahaan Eropa dan Asia, yang mengambil alih perusahaan-perusahaan Amerika. Umpamanya, para manajer Jepang biasa bekerja 10-12 jam sehari yang dilanjutkan dengan sosialisasi hingga tengah malam. Padahal, banyak pembicaraan bisnis yang dilakukan justru pada saat sosialisasi semacam itu sehingga para manajer Amerika merasa ditinggalkan dan hal ini betul-betul menyakitkan karena merasa tidak dipercaya.
Cara-cara Jepang dalam berkomunikasi dengan karyawan Amerika juga menimbulkan kesulitan. Orang-orang Amerika lebih langsung dan berterus terang, mengatakan tepat seperti yang dimaksudkan. Dipihak lain, orang-orang Jepang mengutamakan konsensus kelompok, yang merupakan praktik yang tidak begitu sesuai di Amerika Serikat. Orang-orang Amerika yang biasanya ingin cepat mengambil keputusan merasa frustasi bila terjadi penundaan-penundaan demi konsensus.
Mengantisipasi Kultur Nasional yang Tidak Bertentangan dengan Globalisasi
Kekhawatiran yang besar akan perbedaan kultur bangsa dalam mengantisipasi terciptanya “desa global” atau “dunia tanpa batas negara” menjadi kurang relevan. Sekarang ini, ketika CNN ditonton atau ditangkap oleh 140 negara, celana Levis yang populer di Dallas juga populer di Moskwa, Beijing, dan Jakarta. Cukup banyak pula lulusan MBA Amerika yang berkebangsaan asing. Setelah pulang ke negaranya masing-masing, mereka mempraktekkan manajemen gaya Amerika. Praktik ini tentunya bisa memperkecil perbedaan kultur yang dikhawatirkan itu. Diharapkan, dalam jangka panjang, perbedaan-perbedaan kultur antara negara akan “menghilang” sehingga “desa global” yang terjadi nanti merupakan satu kesatuan kultur yang homogen. Tetapi, dapatkah hal tersebut terjadi, dimana kultur nasional menjadi homogen dengan kultur global? Dalam beberapa aspek, mungkin hal itu bisa terjadi meskipun sulit dan membutuhkan waktu lama (sangat lama).
Penelitian menunjukkan bahwa strategi, struktur, dan teknologi organisasi beranngsur-angsur menjadi sama. Namun demikian, masih saja terjadi perbedaan antara manusia-manusia dalam organisasi karena perbedaan kultur. Dengan kata lain, kultur nasional masih terus akan menjadi kekuatan yang tidak boleh diabaikan dalam menjelaskan sebagian besar peranan perilaku organisasi (Child, 1981). Pendapat ini telah didukung oleh penelitian sebelumnya (Hofstede, 1981). Setelah membandingkan para karyawan dari 40 negara dalam penelitian itu, disimpulkan bahwa ada perbedaan sikap dan perilaku karyawan, yang hampir 50% disebabkan oleh kultur nasionalnya ini. Jika manusia itu bisa menjadi lebih homogen, tentu kita bisa melakukan pendekatan “bebas kultur” dalam mendalami perilaku organisasi. Pendekatan serupa ini tampaknya belum relevan pada saat inni dengan beberapa alasan sebagai berikut:
a. Banyak perbedaan dalam perilaku organisasi karena kultur-kultur nasional.
b. Perbedaan-perbedaan ini dapat menerangkan terjadinya sebagian besar variasi sikap dan perilaku.
c. Paling sedikit sampai dengan saat ini, dan mungkin sampai bertahun-tahun yang akan datang, perbedaan ini belum akan berkurang secara signifikan.
Akhirnya, kita boleh berspekulasi bahwa meskipun telah begitu banyak dilakukan komunikasi kultur antar negara (cross cultural), masih saja ada sifat-sifat unik dari tradisi dan kebiasaan khusus sebuah negara, yang membentuk sikap dan perilaku manusia dinegara tersebut.
Budaya menurut Hofstede
Menurut Hofstede, sebuah bangsa memiliki budaya. Hofstede sendiri telah mengklaim telah sukses menyingkap rahasia kebudayaan bangsa tersebut dalam lima dimensi yang dapat digambarkan secara hirarki. Pada tahun 1994, ia juga mengklaim skala penerimaan dari notasinya mengenai kebudayaan bangsa yang disebutnya sebagai perubahan paradigma yang nyata telah terjadi.
Hofstede (1984) dalam penelitiannya mengelompokkan masyarakat yang satu dengan masyarakat lain yang kemudian dibedakan budayanya dari berbagai aspek termasuk budaya toleransi kekuasaan atau (power distance). Budaya akan dapat mempengaruhi persepsi karir seseorang meskipun pada tingkat analisis individual. Dari tingkat analisis individual, budaya pada umumnya akan mem-pengaruhi anggota organisasi termasuk mempengaruhi gaya kepemimpinan atau leadership style
Kerangka Konsep dari Hofstede
Analisis yang lebih menyeluruh tentang deversifikasi kultur telah dilakukan oleh Hofstede (1983). Hofstede telah melakukan survei pada responden yang jumlahnya lebih dari 116.000 karyawan dalam sebiah perusahaan multinasional yang bekerja di 40 negara. Analisis ini telah menyingkirkan perbedaan-perbedaan yang mungkin disebabkan oleh kebijakan atau praktik-praktik perusahaan sehingga adanya variasi yang ditemukan di antara negara-negara tersebut dapat dipercaya karena faktor-faktor kultur nasional ini. Dari studi ini, Hofstede dapat menyimpulkan adanya empat dimensi kultur nasional yang mempengaruhi para manajer dan karyawan negara yang bersangkutan, yaitu:
a. Individualisme versus kolektivisme
b. Jarak kekuatan/kewewenangan
c. Penghindaran situasi yang meragukan
d. Kuantitas kehidupan versus kualitas kehidupan
Realitas Adanya Cultural Shock
Setiap gerakan manusia dari satu negara kenegara lain akan menimbulkan kebingungan, disorientasi, dan ketegangan emosional yang disebut sebagai cultural shock. Transfer eksekutif dari Amerika Serikat ke Kanada mungkin tidak begitu memerlukan banyak penyesuaian karena kedua negara itu hampir sama dalam keempat dimensi kultur nasionalnya. Penyesuaian dalam program transfer eksekutif baru akan menjadi berat bila transfer dilakukan kenegara-negara yang kultur nasionalnya sangat berbeda dengan lingkungan yang lama.
Jadi, kalau Anda menjadi orang baru disebuah negara asing dan mengalami cultural shock, jangan merasa kondisi tersebut tidak normal. Hanya perlu diingat bahwa cultural shock yang telah diramalkan dan dipelajari lebih dahulu cara-cara mengatasinya akan sedikit sekali berakibat negatif seperti euforia (gembira semu), depresi, dan frustasi. Perlu diketahui pula bahwa setelah empat sampai enam bulan, sebagian besar diantara mereka telah dapat menyesuaikan diri dengan kultur setempat dan menyadari bahwa cultural shock yang telah dialaminya itu dapat dimengerti.
Akhirnya, perlu diingatkan bahwa banyak studi tentang perilaku organisasi ini yang menghubungkan pengalaman-pengalaman organisasi di Amerika atau negara-negara Barat lainnya. Hal ini penting untuk disampaikan agar kita dapat menyesuaikan konsep-konsep perilaku organisasi dengan kultur setempat karena tidak semua konsep dapat diaplikasikan diseluruh dunia. Bahkan, dalam satu negara yang terdiri dari bermacam-macam suku seperti Indonesia, perbedaan-perbedaan kultur lokalpun sering mewarnai para karyawan diperusahaan-perusahaan besar, yang memerlukan pengertian dan pendekatan khusus dalam mengatasi probem perilaku mereka yang berhubungan dengan pekerjaan. Oleh karena itu, keberhasilan seorang top manajer sangat tergantung pada kejeliannya dan kemampuannya mengatasi masalah-masalah ini dengan seni manajemen yang didasarkan pada perilaku organisasi ini.
Persoalan Terkini dari Manajemen SDM Internasional
Mengendalikan eksistensi organisasi dalam lingkungan persaingan yang semakin tajam melalui pendekatan manajemen SDM menjadi tantangan besar organisasi masa kini. SDM adalah pelaksana proses produksi dan yang menghasilkan produk sesuai dengan kualitas yang diiginkan, guna memenuhi keinginan dan kebutuhan konsumen. Peranan SDM semakin penting dalam konddisi keinginan dan kebutuhan konsumen yang terus berubah, meningkat dan beragam karena tersebar di seluruh dunia dengan gaya hidup dan budaya yang berbeda.
Kualitas yang tinggi merupakan kunci utama yang harus dimiliki organisasi untuk beraing di pasar domestic dan internasional.Pengaruh standar kualitas internasional sudah dirasakan oleh kalangan bisnis.Jaminan kualitas yang dinela dalam bentuk sertifikat ISO seri 9000 dan ISO ser 14000.sertifikat ISO seri 9000 dicptakan untuk mengakui perusahaan yang memiliki produk, pelayanan, dan praktek-praktek manajemen, lebih berorientasi pada pengelolaan internal. Kepedulian terhadap lingkungan menciptakan sertifikat ISO seri 14000, memperhitungkan dampak yang ditimbulkan organisasi terhadap lingkungannya.Penekanan kualitas pada hakekatnya dapat dibedakan menjadi dua, yaitu penekanan teknis/manufaktur dan penekanan pada konsumen.Secara teknis produk berkualitas merupakan produk yang dapat memenuhi spesifikasi tertentu.Namun hal ini tidak menjamin produk laku di pasar.Produk juga harus memenuhi spesifikasi yang ditetapkan oleh konsumen.Produk dikatakan berkualitas jika produk mampu memenuhi kebutuhan konsumen.
Selain standar ISO 9000 organisasi dapat berusaha untuk mencapai kualitas melalui Total Quality Management (TQM) yaitu bentuk kerjasama atau komitmen anggota organisasi untuk mengoperasikan bisnis dengan megandalkan bakat dan kemampuan karyawan serta pihak manajemen agar secara terus menerus dapat meningkatkan kualitas dan produktifirtas kerja melalui tim kerja. Salah satu prinsip dasar dalam menjalankan manajemen kualitas adalah benchmarking, proses penemuan contoh produk, jasa, system atau praktek manajemen yang baik, yang kemudian dijadikan standar. Perusahaan harus melakukan proses desain kembali produk, jasa, system dan praktek manajemen hingga menyamai atau melebihi standar tersebut.
Perusahaan yang unggul adalah perusahaan yang terus menerus berada di depan para pesaingnya dalam hal usaha-usaha memenuhi harapan atau melebihi harapan konsumen terhadap kebutuhan konsumen terhadap barang dan jasa. Dalam hal ini divisi SDM sangat berperan untuk membangun rencana atau perencanaan SDM dalam rangka mencapai sasaran strategis perusahaan, meningkatkan kualitas SDMnya untuk menjadi lebih unggul daripada pesaing.
Sumber daya manusia yang berkualitas merupakan faktor yang paling penting untuk mempetahankan kelangsungan hidup organisasi. Merencanakan SDM yang sesuai dengan keperluan organisasi merupakan tugas dan tanggung jawab MSDM yang penuh tantangan. Menurut G. Steiner, “Perencanaan SDM merupakan perencanaan yang bertujuan untuk mempertahankan dan meningkatkan kemampuan organisasi dalam mencapai tujuan/sasarannya, melalui strategi pengembangan kontribusi pekerja di masa depan”. Pengertian ini mengarahkan proses perencanaan SDM pada langkah-langkah strategis yang dapat membantu organisasi memperoleh sejumlah tenaga kerja berkualitas.
SDM berkualitas akan menjadi faktor yang mampu mempertahankan dan meningkatkan keberhasilan organisasi dalam mewujudkan eksistensinya yang kompetitif. Eksistensi hanya akan tercapai melalui pelaksanaan pekerjaan yang terarah pada sasaran organisasi berupa sukses dalam bisnis, karena karyawan yang dimiliki bekerrja dan memberi pelayanan secara produktif dan berkualitas. Pada dasarnya kondisi bisnis masa depan mengharuskan organisasi melakukan penyesuaian perencanaan strategis dan operrasional bisnisnya agar mampu mewujudkan ekistensinya yang kompetitif. Penyesuaian itu berdampak pada perlunya melakukan analisis tenaga kerja dan pekerjaan untuk mengetahui kesesuaian persediaan SDM dengan kebutuhan SDM berdasarkan rencana strategis bisnis.
Kualitas SDM pada hakekatnya merupakan kamampuan melaksanakan pekerjaan terbaik untuk merealisasikan rencana strategis dan rencana operasional bisnis agar sukses. SDM berkualitas dapat juga berarti sumber daya manuisa yang memiliki keterampilan/keahlian dalam bidang bisnis, termasuk proses produksi dan pembeian pelayanan untuk didayagunakan secara maksimal.
SDM yang kompetitif atau berkualitas memiliki karakteristik seperti antar lain;
1 Memiliki kemampuan menjaring, mengolah dan memanfaatkan informasi dalam mencari peluang bisnis yang menguntungkan.
2 Memiliki kemampuan merespon secara tepat, dalam mengambil keputusan untuk mewujudkan bisnis yang menguntungkan.
3 Memiliki kemampuan merespon secara tepat dan berani memerintahkan pelaksanaan keputusan pada saat yang tepat.
4 Mampu menghidari atau memperkecil resiko dalam melaksanakan keputusan, dengan atau tanpa bantuan orang lain.
5 Mampu mengendalikan cost benefit ratio yang menguntungkan, artinya mampu bekerja dengan produktifitas dan kualitas tinggi, mampu pula merebut dan memperluas pangsa pasar.
0 Komentar